Dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Kerinci tahun anggaran 2024 yang mencapai Rp 1,5 miliar kini jadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2025, BPK menemukan adanya penggunaan dana yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.
Dana tersebut disalurkan Pemkab Kerinci dalam dua tahap: Rp 900 juta pada 2 April 2024 dan Rp 600 juta pada 29 November 2024. Di akhir tahun, tercatat pengembalian dana sebesar Rp 67 juta ke kas daerah. Namun BPK mencatat ada belanja hibah senilai Rp 88 juta yang tidak sesuai kenyataan. Dari jumlah itu, baru Rp 60 juta yang dikembalikan ke kas daerah. Sisanya, Rp 27 juta, masih mengendap tanpa kepastian pengembalian.
Yang membuat temuan ini semakin mencengangkan adalah pengakuan dari Bendahara Umum KONI Kerinci sendiri. Dalam wawancara dengan tim BPK, bendahara menyebut bahwa bukti pertanggungjawaban keuangan yang mereka ajukan bukanlah bukti yang sebenarnya. Ia juga menyatakan kesediaannya untuk mengembalikan dana yang belum dipertanggungjawabkan itu.
Namun tak hanya berhenti di situ. BPK juga menemukan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana hibah ini lemah. Bidang Olahraga di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kerinci yang seharusnya melakukan monitoring dan evaluasi, mengaku tidak pernah mengecek keabsahan bukti pertanggungjawaban. Alasannya? Karena mereka menganggap hal tersebut sudah menjadi urusan tim Inspektorat.
Sayangnya, ketika BPK menggali lebih dalam ke Inspektorat, jawaban yang didapat tak kalah mengejutkan. Tim pemeriksa Inspektorat hanya memeriksa kelengkapan administrasi, bukan keabsahan bukti. Pemeriksaan hanya sebatas syarat administratif pencairan dana tahap berikutnya. Artinya, siapa pun bisa melampirkan dokumen asal-asalan, selama lengkap, maka dana bisa cair.
Lebih jauh, proses penyaluran dana hibah ini juga minim pengawalan sejak awal. Bidang Olahraga hanya menjalankan disposisi dari Bupati atas proposal yang diajukan KONI, lalu menindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) penetapan hibah. Tidak ada mekanisme verifikasi menyeluruh atas penggunaan anggaran.
Temuan BPK RI tahun 2025 ini sepertinya pengulangan pada pengelolaan anggaran tahun sebelumnya. Dari audit BPK RI tahun 2024, ditemukan kondisi serupa. Dari Rp 3,15 miliar hibah tahun 2023, hanya sekitar Rp2,15 miliar yang terpakai untuk kegiatan KONI. Sementara sisanya ±Rp1 miliar tidak jelas penggunaannya.
Dari temuan audit tahun 2024 itu, BPK mencatat pola serupa dimana belanja actual KONI tidak mencapai jumlah anggaran yang disalurkan. Sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai ke mana sisa dana tersebut. Dengan kata lain, realisasi pengeluaran KONI terbukti lebih kecil daripada nilai hibah yang dialokasikan.
Selisih ini mengindikasikan adanya dana hibah yang menganggur atau belum dipertanggungjawabkan sepenuhnya pada akhir tahun anggaran. BPK memandang rendahnya serapan anggaran ini sebagai sinyal lemahnya perencanaan atau eksekusi program KONI. Sekaligus membuka potensi penyimpangan atas dana sisa yang tidak terpakai sebagaimana mestinya.
BPK RI dalam auditnya sempat menemukan bukti-bukti kejanggalan dalam pertanggungjawaban dana hibah KONI. Hasil audit menunjukkan bahwa pengelolaan belanja hibah KONI tidak memadai, baik dari sisi administrasi maupun kesesuaian penggunaan. Pertama, sejumlah pengeluaran KONI tidak didukung bukti atau dokumen pertanggungjawaban yang lengkap dan sah.
Indikasinya meliputi laporan penggunaan yang terlambat, kuitansi atau bukti belanja yang tidak sesuai standar, hingga belanja yang tak sesuai peruntukan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Kedua, BPK menilai realisasi kegiatan KONI tidak sepenuhnya sesuai rencana anggaran (RAB) internal.
Misalnya, terdapat anggaran untuk beberapa program atau kejuaraan yang dicairkan namun kegiatannya tidak terlaksana optimal, atau biayanya ternyata lebih rendah dari dana yang diberikan. Selisih dana yang tidak terpakai tersebut tidak segera dikembalikan ke kas daerah, yang semestinya dilakukan jika ada sisa hibah di akhir kegiatan.
BPK mengungkap fakta-fakta ini sebagai bentuk penyimpangan dari ketentuan pengelolaan hibah (Permendagri tentang hibah daerah), yang mensyaratkan dana digunakan tepat sasaran dan dilaporkan secara akuntabel.
Temuan audit diperkuat oleh indikasi bahwa ada sekitar Rp1 miliar dana hibah KONI 2023 yang saat itu belum bisa dipertanggungjawabkan dan berpotensi disalahgunakan. Dengan demikian, BPK menemukan ketidakwajaran dalam laporan pertanggungjawaban KONI tahun anggaran 2023, menandai adanya risiko kecurangan atau minimal ketidakpatuhan dalam pengelolaan uang negara ini.
BPK RI memberikan sejumlah rekomendasi tegas kepada Pemerintah Kabupaten Kerinci terkait temuan hibah KONI ini. Pertama, Bupati Kerinci diminta meningkatkan pengawasan dan pengendalian internal atas penyaluran hibah. BPK merekomendasikan agar ke depan setiap pencairan hibah didahului verifikasi ketat dan diikuti evaluasi hasil penggunaan, sehingga kasus dana tersisa tanpa laporan bisa dicegah.
Kedua, KONI diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang lengkap, tepat waktu, dan sesuai NPHD, termasuk mengembalikan segera setiap sisa dana yang tidak terpakai. BPK menekankan bahwa tindakan korektif harus diambil terhadap pejabat atau pengurus KONI yang lalai, misalnya dengan pemberian sanksi administratif jika diperlukan.
Ketiga, Pemkab disarankan memperbaiki SOP pengelolaan hibah, mengacu pada Permendagri terkait (tentang pedoman pemberian hibah dan bansos), agar penyaluran hibah tepat sasaran dan sesuai ketentuan hukum. Implikasi dari rekomendasi ini sangat penting bagi akuntabilitas keuangan daerah.
Apabila ditindaklanjuti serius, akan terjadi perbaikan transparansi dan pertanggungjawaban – dana publik untuk KONI akan dikelola lebih hati-hati, setiap rupiah penggunaannya terdokumentasi. Sebaliknya, jika rekomendasi diabaikan, risiko penyimpangan dan kebocoran anggaran akan terus menghantui. BPK sendiri menegaskan bahwa tugas audit bukan mencari-cari kesalahan, namun jika ditemukan penyimpangan material maka akan diungkapkan apa adanya.(*)
Add new comment