PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA, kembali menancapkan eksistensinya di Jambi. Kali ini bukan lewat jalan tol, bendungan, atau jembatan megah. Tapi lewat proyek rehabilitasi jaringan irigasi pertanian di tujuh kabupaten dan satu kota.
Proyek senilai Rp 72,57 miliar itu bukan proyek biasa. Ia lahir dari dua dokumen kebijakan tingkat tinggi, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri PUPR Nomor 444/KPTS/M/2025, yang menegaskan pentingnya percepatan rehabilitasi irigasi daerah.
WIKA ditunjuk langsung sebagai pelaksana dalam skema Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Non-Tender, dengan pengawasan langsung dari Balai Wilayah Sungai Sumatera VI Jambi.
Menurut Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, lingkup proyek ini mencakup rehabilitasi irigasi seluas 13.867 hektare. Menurutnya, pekerjaan teknis meliputi galian tanah sepanjang 190 kilometer, perbaikan 44 unit bangunan irigasi, durasi kerja hanya 110 hari kalender.
Targetnya bukan sekadar membangun, tapi memastikan air mengalir stabil ke sawah-sawah masyarakat, mengurangi ketergantungan hujan, dan menghindarkan petani dari bencana klasik, gagal panen.
“Melalui proyek ini, WIKA tidak hanya memperkuat kontribusinya di sektor infrastruktur pertanian, namun juga menghadirkan dampak nyata dalam meningkatkan ketersediaan air bagi lahan pertanian serta kesejahteraan petani di Jambi,” ujar Agung dalam siaran pers, Jumat (4/7).
Data resmi LPSE mencatat, proyek ini terdaftar dengan nama Rehabilitasi Jaringan Irigasi D.I./D.I.R. Kewenangan Daerah di Provinsi Jambi, dengan nilai HPS sebesar Rp 72.694.175.000 dan nilai negosiasi akhir Rp 72.577.864.578,50.
Adapun sebaran lokasinya mencakup:
- Kabupaten Batang Hari
- Tanjung Jabung Barat
- Tanjung Jabung Timur
- Sarolangun
- Muaro Jambi
- Kerinci
- Tebo
- Kota Sungai Penuh
Melihat daftar tersebut, proyek ini praktis menyentuh seluruh sentra produksi pangan utama Provinsi Jambi. Di daerah seperti Kerinci, Tebo, dan Tanjabtim, irigasi kerap jadi kendala utama petani, terutama di musim tanam kedua yang bergantung penuh pada suplai air dari saluran teknis.
Tak banyak proyek infrastruktur yang digarap tanpa tender, dan lebih sedikit lagi yang langsung menyebar ke delapan wilayah. Penunjukan WIKA tanpa lelang ini bisa dibaca sebagai kepercayaan penuh pemerintah pusat atas kapabilitas BUMN konstruksi tersebut.
Namun di balik kemegahan struktur dan data, proyek ini juga memikul beban sosial, yakni harus menjawab kesenjangan irigasi yang telah lama jadi jerat stagnasi pertanian di daerah.
Selama ini, banyak petani di Jambi hanya mengandalkan hujan atau saluran tua yang rusak. Investasi irigasi yang memadai bisa menjadi game changer untuk mengubah pola panen satu kali menjadi dua hingga tiga kali setahun.
Apalagi, proyek ini berlangsung saat harga beras fluktuatif dan daya beli petani belum sepenuhnya pulih pasca pandemi dan inflasi pupuk.
Target pekerjaan 110 hari kalender dengan rentang pekerjaan di tujuh kabupaten memang ambisius. Karena itu, pelaksanaan proyek ini perlu diawasi ketat oleh pengawas lapangan dari BWSS VI, DPRD daerah, dan juga masyarakat.
Jangan sampai proyek besar ini menjadi contoh klasik proyek cepat jadi, namun tidak bertahan lama. Kualitas infrastruktur irigasi bukan hanya soal beton dan tanah, tetapi juga presisi ketinggian, volume, dan sistem distribusi yang ramah petani kecil.
Tim Jambi Link akan terus memantau progres pelaksanaan proyek ini di lapangan, termasuk menyusuri apakah WIKA menggandeng subkontraktor lokal di setiap kabupaten, serta bagaimana peran dinas teknis kabupaten dalam mendukung keberhasilan pekerjaan rehabilitasi ini.
Jika proyek ini berhasil—tepat waktu dan berkualitas—maka ini bisa menjadi model baru kolaborasi pusat-daerah dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis infrastruktur air.
Namun jika gagal, proyek ini akan dicatat sebagai ironi: ratusan miliar mengalir ke saluran irigasi, tapi tak satu tetes pun sampai ke sawah petani.(*)
Add new comment