Dua paket proyek layanan kesehatan di Kabupaten Bungo saat ini tengah menjadi bahan diskusi di kalangan publik dan pegiat transparansi pengadaan. Adalah proyek Puskesmas Air Gemuruh dan Puskesmas Tanah Tumbuh, yang anggaran keduanya dikelola Dinas Kesehatan Bungo.
Perbincangan hangat dan sorotan publik mengarag pada CV Rizki. Apa masalahnya?
Berdasarkan dokumen resmi Berita Acara Hasil Pemilihan tanggal 4 Juli 2025, CV Rizki ditetapkan sebagai pemenang tender paket pembangunan Puskesmas Air Gemuruh senilai Rp 8,62 miliar. Harga penawarannya Rp 8,42 miliar. Itu hanya terpaut sekitar Rp 199 juta dari nilai HPS.
Rupanya, CV Rizki juga ikut menawar di tender paket Renovasi/Penambahan Ruang Puskesmas Tanah Tumbuh senilai Rp 3,79 miliar. Di sini, penawaran CV Rizki jauh lebih rendah, yakni Rp 3,41 miliar, atau lebih hemat Rp 384 juta dari HPS.
Anehnya, perusahaan yang mencantumkan alamatnya di Desa Pugu Semurup Kecamatan Air Hangat Barat Kerinci itu justru tak dinyatakan sebagai pemenang. Alasannya, sebagaimana tercantum dalam dokumen evaluasi, CV Rizki tak membawa surat dukungan asli produk IPAL dari pabrik saat proses pembuktian kualifikasi.
Yang menjadi perhatian publik, kedua tender ini dijalankan dalam waktu dan jadwal yang bersamaan. Evaluasi teknis, administrasi, dan pembuktian kualifikasi dilakukan Pokja yang sama, pada tanggal yang berdekatan.
Dalam kondisi dan dokumen yang relatif identik, publik bertanya-tanya, mengapa satu diterima, satu lainnya digugurkan?
Dengan tak terpilihnya CV Rizki pada paket Tanah Tumbuh, negara hanya menghemat sekitar Rp 211 juta dari HPS. Karena paket tersebut akhirnya dimenangkan penyedia lain dengan harga penawaran Rp 3,58 miliar.
Padahal, jika CV Rizki lolos, efisiensi anggaran negara bisa mencapai Rp 384 juta. Artinya, terdapat selisih efisiensi lebih dari Rp 172 juta yang tidak bisa dimanfaatkan.
Sejumlah pegiat pengadaan menyarankan agar Pokja dan pihak terkait memberikan penjelasan terbuka terkait proses evaluasi kedua paket ini.
“Pola ini memang perlu klarifikasi. Agar publik tidak berprasangka dan proses tender tetap kredibel,” ujar seorang kontraktor yang enggan disebut namanya.
Dalam Perpres No. 12 Tahun 2021 dan dokumen pengadaan LKPP, ditekankan pentingnya kesetaraan dan konsistensi penilaian antar peserta. Apalagi, jika dokumen dan jadwal proses dilakukan serempak, prinsip keadilan prosedural menjadi fondasi utama.
Publik pun mulai mendorong agar proses ini dievaluasi lebih dalam, baik oleh Inspektorat Daerah, UKPBJ, maupun aparat pengawasan lain.
“Kalau prosesnya transparan dan logis, semua pihak tentu akan mendukung. Tapi jika ada kesan pembeda perlakuan tanpa alasan kuat, maka perlu ditinjau ulang,” ujarnya.
Pembangunan puskesmas adalah bagian dari pelayanan dasar kesehatan yang menyentuh warga secara langsung. Karena itu, selain konstruksi fisik, proses pengadaannya pun harus mencerminkan semangat keterbukaan dan akuntabilitas.
Jika ada pertanyaan publik, maka bukan berarti ada tudingan, tetapi justru menjadi peluang bagi instansi untuk membuktikan integritasnya.
Sebelumnya, masalah yang hampir mirip terjadi pada dua tender SPAM di Bungo. Untuk SPAM jaringan perpipaan Desa Sungai Puri Kecataman Tanah Sepenggal Lintas senilai Rp 1,2 miliar dimenangkan CV Gunung Sago Perkasa. Sedangkan SPAM Jaringan Perpipaan Desa Empelu Kecataman Tanah Sepenggal dimenangkan CV Putra Bintang.
Nah, CV Gunung Sago Perkasa tersorot mengikuti dua tender SPAM sekaligus. Jika di Desa Sungai Puri CV Gunung Sago Perkasa dianggap sah dan bersih dari temuan administratif, tapi di Desa Empelu—yang ditenderkan pada waktu dan proses yang serupa—perusahaan ini digugurkan dengan alasan personil dan alat yang sama.
Inilah kontradiksi yang menampar nalar.
Karena jika benar alat dan orang yang ditawarkan di Desa Empelu memang dipakai juga di Desa Sungai Puri, maka pertanyaan krusial muncul, mana lokasi yang sebenarnya akan mereka kerjakan? Apakah mereka akan menggandakan operator alat berat atau membelah tukang pelaksana menjadi dua?
Ataukah... evaluasi di salah satu tender tidak dilakukan secara menyeluruh?
Pokja Bungo punya PR besar menjelaskan mengapa penilaian terhadap CV Gunung Sago Perkasa bisa bertolak belakang di dua proyek dari instansi yang sama, dan diawasi oleh sistem yang seharusnya terintegrasi. Karena di era SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik)--dulu LPSE--, overlap data seharusnya mudah dilacak.
Ironisnya, keputusan Pokja justru membuat dugaan publik makin liar.
Dan bukan hanya soal Gunung Sago Perkasa.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan atas bagaimana CV Putra Bintang bisa dinyatakan menang di SPAM Empelu. Apakah mereka menjadi pengisi kekosongan setelah kandidat sebelumnya—Gunung Sago—digugurkan?
Tim Jambi Link mencoba meminta keterangan dari beberapa pihak terkait, termasuk Dinas PUPR Bungo sebagai leading sector pembangunan SPAM. Namun belum ada tanggapan resmi.
CV Gunung Sago Perkasa sendiri juga belum memberikan klarifikasi publik hingga berita ini ditulis.
Kasus SPAM Bungo adalah alarm. Tim Jambi Link masih menelusuri lebih lanjut proyek-proyek yang dimenangkan oleh CV Gunung Sago Perkasa dan CV Putra Bintang di kabupaten lain. Apakah pola-pola serupa juga terjadi? Apakah mereka juga memakai personil atau alat yang sama di waktu bersamaan?
Add new comment