Proyek Pembangunan Jalan Lingkungan Paket II (APBD Perubahan 2024) di Kabupaten Bungo berakhir tanpa hasil, tapi dengan kerugian. Pekerjaan tak selesai, kontraktor tak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, dan uang daerah senilai Rp 474 juta menguap tanpa kepastian.
Yang lebih mengagetkan, kontrak proyek ini tak pernah diputus secara resmi. Sehingga seluruh skema kompensasi seperti jaminan pelaksanaan dan denda keterlambatan tidak bisa dijalankan.
Tender proyek ini dilaksanakan melalui LPSE Kabupaten Bungo dengan nilai pagu dan HPS Rp1,36 miliar.
Pemenangnya adalah CV. Grand Indo Mandiri, yang beralamat di Pasar Senin, Kecamatan Siulak, Kabupaten Kerinci.
Nilai penawaran dan kontrak, Rp1.344.270.528,58. Lokasi pekerjaan berada di wilayah Jalan Payo Gedang dan Dusun Sungai Lilin, Desa Sungai Lilin, wilayah padat permukiman yang sangat mengandalkan akses jalan lingkungan tersebut.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPD Kabupaten Bungo Tahun 2024, BPK mencatat pelaksana pekerjaan tidak mampu menyelesaikan proyek sesuai kontrak. Namun, yang mengejutkan tidak ada dokumen resmi pemutusan kontrak. Artinya, meski proyek berhenti di tengah jalan, secara hukum kontrak seolah masih aktif.
Dari audit BPK RI terlihat, Dinas PUPR, sebagai pemilik kegiatan, tak menindaklanjuti wanprestasi ini sesuai ketentuan.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut dinilai BPK RI lalai menindaklanjuti putus kontrak sesuai aturan. BPK mengungkapkan jaminan pelaksanaan senilai Rp 403.281.150 yang seharusnya segera dicairkan ke kas daerah justru dibiarkan hangus tanpa ditagih.
Padahal, sesuai ketentuan pengadaan, dalam kasus kontraktor wanprestasi, jaminan pelaksanaan wajib dicairkan sebagai kompensasi atas kegagalan pekerjaan. Fakta di lapangan menunjukkan jaminan dari kontrak Paket II ini tak pernah masuk kas daerah.
Akibatnya, ratusan juta rupiah uang penjaminan yang mestinya bisa menyelamatkan keuangan daerah justru “menguap” tanpa jejak. Temuan ini mengindikasikan kelalaian prosedural serius oleh PPK dan pihak terkait dalam mengamankan hak keuangan pemerintah daerah.

Tak hanya jaminan pelaksanaan, BPK juga menyoroti denda keterlambatan yang seharusnya dikenakan kepada kontraktor. Dalam LHP terungkap PPK tidak menghitung dan menagih denda keterlambatan sebesar Rp 70.859.058,75 atas molornya pekerjaan tersebut.
Denda ini semestinya dikenakan karena proyek melewati batas waktu kontrak sebelum akhirnya diputus. Dengan tidak ditagihnya denda, kontraktor lolos dari kewajiban membayar penalti. Sementara pemda kehilangan potensi pendapatan denda puluhan juta rupiah. BPK menilai pengabaian sanksi finansial ini sebagai bentuk kelemahan pengendalian dan kelalaian aparatur dalam melindungi kepentingan daerah.
Konsekuensi dari rangkaian kelalaian ini sangat serius. BPK menghitung total potensi kerugian keuangan daerah mencapai sekitar Rp 474 juta – akumulasi dari jaminan pelaksanaan Rp 403,28 juta yang tidak dicairkan dan denda Rp 70,86 juta yang tak tertagih.
Angka ini setara dengan hilangnya dana publik yang seharusnya bisa digunakan untuk menambal biaya penyelesaian proyek jalan yang terbengkalai atau dialokasikan ke kebutuhan masyarakat lainnya. Secara fiskal, daerah dirugikan dua kali, proyek jalan lingkungan tidak selesai tepat waktu, dan kas daerah tak memperoleh kompensasi apapun atas wanprestasi kontraktor.
BPK menegaskan situasi ini terjadi akibat kelalaian prosedural pejabat terkait, mulai dari tidak menjalankan sanksi kontrak hingga lemahnya upaya penagihan.
Laporan audit BPK ini menggugah keprihatinan publik atas lemahnya pengawasan internal pemerintah daerah. Uang jaminan ratusan juta yang lenyap tanpa ditagih dan denda keterlambatan yang diabaikan mencerminkan bobroknya akuntabilitas dalam pengelolaan proyek publik.
BPK dalam rekomendasinya mendesak Pemerintah Kabupaten Bungo untuk segera mengambil tindakan korektif, mencairkan jaminan pelaksanaan yang masih bisa ditagih, menagih denda sesuai ketentuan, serta memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang lalai.
Dinas PUPR Bungo melalui Kabid Bina Marga, Dwi Herwindo, beberapa waktu lalu mengklaim kontrak sudah diputus. Dan CV Grand Indo Mandiri sudah di-blacklist. Tapi, dalam audit, BPK tak menemukan dokumen resmi pemutusan kontrak. Dan inilah yang jadi janggal.
Dalam aturan pengadaan barang dan jasa, kegagalan pekerjaan harus disertai dokumen putus kontrak, agar jaminan bisa dicairkan dan denda bisa dikenakan. Tapi di sini, semua “gagal”.
Apakah ini kelalaian, atau bentuk perlindungan terhadap rekanan?
Informasi yang bereda menyebutkan CV Grand Indo Mandiri sempat mengaku tak bisa membeli aspal karena menunggu dana dari seorang oknum penguasa. Pernyataan ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga memunculkan pertanyaan baru, apakah ada skema “orang dalam” yang membuat kontraktor merasa aman meski proyek gagal?
Dinas PUPR Bungo menyatakan proyek ini akan dianggarkan ulang pada APBD Perubahan 2025. Tapi jika akar masalahnya tidak dituntaskan, publik khawatir proyek baru hanya akan menjadi pengulangan dari kegagalan lama.(*)
Add new comment