Audit BPK RI Ungkap Dana CSR PetroChina Disalurkan ke Dinas PUPR Tanjabtim, Tapi Tak Lewat APBD

WIB
IST

PT PetroChina Jabung Ltd melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau CSR membiayai pembangunan infrastruktur jalan tahun 2024 di kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Salah satu proyek utamanya adalah peningkatan jalan rigid beton.

Proyek ini dibangun dengan skema swakelola oleh Dinas PUPR Tanjab Timur. Proyek ini mencuat karena temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2025, atas penggunaan APBD tahun 2024.

Dalam auditnya, BPK RI mengungkap persoalan teknis dan tata kelola serius. Hasil audit BPK menunjukkan bahwa meskipun niatnya baik, model pelaksanaan ini justru menciptakan risiko akuntabilitas dan kualitas konstruksi yang buruk.

Proyek jalan rigid beton dana CSR PetroChina di Tanjabtim mencakup beberapa ruas jalan strategis yang menghubungkan wilayah Kecamatan Geragai dan Kecamatan Mendahara. Secara keseluruhan, hingga akhir 2024 telah terbangun sekitar 10,9 km jalan rigid beton pada koridor Geragai–Mendahara berkat pendanaan PetroChina. Pembangunan dilakukan bertahap dalam beberapa paket/ruas di bawah MoU Pemkab–PetroChina setiap tahunnya.

Berikut rinciannya:

  • Ruas Parit Slamet – Simpang Tabu (Kec. Mendahara) – Panjang ±1,9 km. Dilaksanakan Tahun 2022 dengan dana CSR PetroChina ~Rp1,914 miliar. Ruas ini berada di ujung Mendahara dan selesai dibangun pada akhir 2022 (bagian dari program PPM 2021 PetroChina).
  • Ruas Simpang 4 Blok D – Desa Pandan Lagan (Kec. Geragai) – Panjang ±3 km. Dibangun Tahun 2021 (program PPM 2020) sebagai tahap awal perbaikan ruas Geragai–Mendahara. Catatan: Nilai proyek ini tidak diungkap langsung dalam LHP 2024; namun disebut bahwa 3 km jalan rigid berhasil dibangun pada tahun 2021 lewat dana CSR PetroChina. Ruas ini berada di sisi Geragai.
  • Ruas Simpang Blok D – Batas Kec. Mendahara – Panjang 3 km. Dibangun 2024 melalui skema Self-Organized Agreement (swakelola) antara PetroChina dan Dinas PUPR Tanjabtim senilai Rp24,258 miliar. Pekerjaan selesai dan diserahterimakan 25 Oktober 2024. Dinas PUPR bertindak sebagai pelaksana (kontraktor swakelola) dan PT PetroChina sebagai pemberi dana/kegiatan.
  • Ruas Pandan Lagan Blok C – Pandan Jaya Blok D – Panjang 3 km. Dibangun 2024 secara swakelola bersamaan dengan ruas di atas, dengan nilai Rp23,700 miliar. Pekerjaan juga rampung 25 Oktober 2024 dan diserahterimakan ke Pemkab Tanjabtim.

Tabel berikut merangkum rincian utama ruas-ruas jalan rigid PetroChina di Tanjabtim:

NoRuas JalanPanjangTahunNilai ProyekPelaksana
1.Parit Slamet – Simpang Tabu (Mendahara)±1,9 km2022Rp1,914 miliar (CSR)Dinas PUPR (Swakelola)
2.Simpang 4 Blok D – Desa Pandan Lagan (Geragai)±3 km2021– (tidak tercatat di APBD)Dinas PUPR (Swakelola)
3.Simpang Blok D – Batas Kec. Mendahara3 km2024Rp24,258 miliar (CSR)Dinas PUPR (Swakelola)
4.Pandan Lagan Blok C – Pandan Jaya Blok D (Geragai)3 km2024Rp23,700 miliar (CSR)Dinas PUPR (Swakelola)

Kedua ruas yang dibangun tahun 2024 masing-masing sepanjang 3 km itu merupakan kelanjutan. Sehingga tahun 2024 total 6 km jalan rigid berhasil diselesaikan melalui skema CSR. Seluruh proyek menggunakan perkerasan beton bertulang mutu K-300 (fc’ 25 MPa).

Spesifikasinya, dengan lebar perkerasan 5 m dan bahu jalan 1 m di kiri-kanan. Pembangunan 6 km pada 2024 diputuskan dengan pola swakelola karena pertimbangan waktu. Artinya Dinas PUPR sendiri yang mengerjakan konstruksi, bukan kontraktor pihak ketiga. PetroChina menyepakati pola ini melalui penandatanganan Self-Organized Agreement pada 21 Maret 2024, bersamaan acara safari Ramadhan perusahaan dengan Pemkab.

Temuan Teknis BPK RI, Mutu Beton dan Volume Tidak Sesuai Spesifikasi

BPK melakukan audit teknis lapangan terhadap dua paket jalan rigid beton tahun 2024 itu. Pemeriksaan fisik dilaksanakan 25–26 April 2025. Tim BPK RI mengambil sampel inti beton (core drill). Kemudian melakukan uji laboratorium di Lab Konstruksi Provinsi Jambi (terakreditasi) pada 30 April 2025. Hasilnya, mengindikasikan kualitas konstruksi jauh di bawah spesifikasi kontrak.

Temuan pertama menunjukkan kuat Tekan Beton di Bawah Standar. Dari total 66 sampel inti beton yang diambil, tidak satu pun mencapai mutu rencana fc’ 25 MPa. Rinciannya, untuk jalan Pandan Lagan Blok C – Pandan Jaya Blok D (31 sampel), hanya 2 sampel yang >20 MPa, 11 sampel di kisaran 15–20 MPa, dan 18 sampel di bawah 15 MPa.

Kondisi serupa pada jalan Simpang Blok D – Batas Mendahara (35 sampel), hanya 7 sampel >20 MPa, 19 sampel 15–20 MPa, dan 9 sampel di bawah 15 MPa. Dengan kata lain, mayoritas beton hanya berkualitas <20 MPa, padahal spesifikasi minimal 25 MPa. Bahkan 18 sampel pertama hanya setara mutu beton siklop/trotoar (fc’ <15 MPa).

Temuan kedua terkait Ketebalan dan Volume Lapis Pondasi/Bahu Tidak Sesuai. BPK menemukan indikasi kekurangan volume pekerjaan. Salah satu contoh, volume timbunan tanah bahu jalan yang terpasang hanya 6.770,57 m³, padahal menurut kontrak seharusnya 8.825,51 m³.

Artinya terjadi kekurangan volume timbunan ±2.055 m³ (sekitar 23% lebih sedikit dari spesifikasi). Hal ini bisa disebabkan ketebalan lapisan pondasi atau timbunan yang tidak mencapai desain. Kontrak mensyaratkan ketebalan perkerasan beton 26,5 cm. Jika praktiknya lebih tipis, maka volume beton terpasang pun berkurang (meski LHP tidak merinci tebal aktual, kekurangan volume material mengindikasikan potensi ketidaksesuaian dimensi).

Temuan ketiga, yakni mengenai mutu Timbunan Tanah di Bawah Syarat. Selain volume kurang, kualitas material timbunan juga tidak memenuhi standar. Uji laboratorium terhadap tanah bahu jalan menunjukkan nilai CBR hanya 7%. Sedangkan kontrak mensyaratkan minimal 10% untuk tanah pilihan.

"Daya dukung tanah yang rendah ini mengakibatkan bahu jalan berisiko lemah dan mudah tergerus erosi," tulis BPK RI dalam laporan auditnya tahun 2025 yang telah dierahkan ke Bupati Tanjab Timur, belum lama ini.

Temuan-temuan BPK RI itu menyebabkan kualitas jalan rigid yang dibangun tidak sesuai peruntukan. Beton dengan kuat tekan <20 MPa semestinya hanya layak untuk konstruksi ringan (trotoar, lantai kerja), bukan jalan yang dilalui kendaraan berat.

Akibatnya, ketahanan jalan terhadap beban lalu lintas diragukan. Jalan berpotensi cepat rusak/retak sebelum waktunya. Dari sisi keuangan negara, pekerjaan yang tidak memenuhi spesifikasi dapat dikategorikan sebagai kerugian potensial.

BPK menyimpulkan kualitas rigid yang rendah berarti Pemkab menerima aset jalan yang nilainya di bawah biaya yang dikeluarkan. Imbasnya, Pemkab Tanjab Timur akan memerlukan biaya perbaikan lebih dini. Walau LHP tak menyajikan angka kerugian rupiah spesifik (mengingat dana berasal dari CSR, bukan APBD), nilai Rp23,61 miliar yang dihabiskan jelas tidak sepenuhnya berbuah infrastruktur sesuai standar.

Lebih lanjut, contoh penyimpangan volume (timbunan kurang ~2.055 m³) jika dihitung dengan harga satuan timbunan dapat diasosiasikan dengan potensi kerugian finansial. Misalnya, andaikata harga timbunan per m³ Rp150 ribu, maka volume kurang itu setara ~Rp308 juta yang seolah “hilang”.

Ini ilustratif menunjukkan skala inefisiensi akibat kualitas pekerjaan yang buruk. BPK menegaskan mutu jalan yang rendah tidak sesuai untuk jalan kabupaten yang dilalui kendaraan, dan bahu jalan yang lemah berpotensi tergerus, memperkuat argumentasi bahwa proyek senilai puluhan miliar ini belum memberikan hasil optimal bagi daerah.

BPK RI Temukan Dana CSR PetroChina Tak Masuk APBD, Namun Dikelola Off-Budget

Temuan BPK tak hanya soal teknis konstruksi. Temuannya juga menyangkut pelanggaran aturan pengelolaan keuangan daerah dalam proyek CSR ini. Inti permasalahan tata kelola adalah Dana CSR PetroChina untuk pembangunan jalan tidak dicatat di APBD maupun Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tanjabtim.

Loh kok?

Temuan BPK RI menunjukkan dana CSR itu dikelola langsung Dinas PUPR di luar mekanisme kas daerah. Menurut BPK RI, ini bertentangan dengan prinsip transparansi-akuntabilitas pengelolaan keuangan publik.

BPK mengutip secara jelas ketentuan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dilanggar. Pada kasus ini, penerimaan dana CSR untuk pembangunan jalan dan pengeluarannya tidak pernah dianggarkan dalam APBD Tanjabtim 2024. Bahkan DPRD hanya memberikan surat persetujuan politis atas rencana proyek, tanpa merubah APBD.

Kemudian, menurut BPK RI, sesuai Pasal 120 ayat (1): “Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang dikelola BUD.” Kenyataannya, Dinas PUPR membuka rekening bank sendiri atas nama “Dana CSR Kegiatan Jalan” untuk menampung uang dari PetroChina.

"Rekening ini tidak mendapat persetujuan Bupati selaku kepala daerah maupun Bendahara Umum Daerah (BUD)," tulis BPK RI dalam auditnya.

BPK RI juga menyinggung Pasal 120 ayat (2): Apabila ada penerimaan/pengeluaran daerah yang tidak melalui RKUD, maka BUD wajib melakukan pencatatan dan pengesahan. Dalam kasus ini, menurut BPK RI, Kepala BPKAD (Bakeuda) selaku BUD menyatakan tidak pernah mengesahkan penerimaan maupun belanja terkait proyek TJSL Rp47,958 miliar tersebut. Artinya, transaksi itu sama sekali di luar pembukuan Pemda.

Lalu, BPK RI menggunakan Pasal 123: “Penerimaan perangkat daerah yang merupakan penerimaan daerah tidak dapat dipergunakan langsung untuk pengeluaran…” – dengan kata lain, dilarang praktek off-budget. Namun, kata BPK RI, Dinas PUPR langsung menggunakan dana yang diterimanya untuk belanja proyek tanpa prosedur APBD.

Selanjutnya, sesuai Pasal 128 ayat (1): “Kepala Daerah dapat memberi izin kepada kepala SKPD untuk membuka rekening penerimaan melalui BUD yang ditetapkan Kepala Daerah pada bank umum.” Pada kasus ini, berdasarkan temuan BPK RI, rekening Tim Swakelola PUPR untuk CSR dibuka tanpa izin Bupati/BUD.

BPK RI juga menemukan pelanggaran terhadap Pasal 141: “Setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah.”. Di mana, Faktanya, pertanggungjawaban belanja proyek nyaris tanpa bukti reliabel. BPK menemukan nota pembelian bahan material tanpa mencantumkan harga dan identitas penjual, tidak ada stempel/tanda tangan penyedia, hanya berupa kwitansi kosong atau rekapitulasi internal.

Beberapa dokumen hanya berupa surat jalan pengiriman barang tanpa rincian harga. Sejumlah laporan rekap volume material pun tanpa tanda tangan penanggung jawab. Kondisi ini membuat Rp47,958 miliar pengeluaran Tim Swakelola tidak dapat diyakini keabsahannya. BPK menegaskan bukti-bukti tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pertanggungjawaban yang sah.

Dari sisi pencatatan keuangan, menurut BPK RI, seharusnya ada dua opsi yang bisa dilakukan agar sesuai aturan. Yakni, PetroChina memberikan hibah uang ke Pemda, yang dimasukkan sebagai pendapatan daerah (Lain-Lain PAD) lalu dianggarkan belanja modal jalan.

Atau, PetroChina langsung membangun jalan (hibah barang/jalan jadi), lalu menyerahterimakan aset ke Pemda untuk dicatat. Kenyataannya, menurut BPK RI, CSR itu tidak ditempuh keduanya.

Dinas PUPR justru menjadi semacam kontraktor yang “dibayar” PetroChina, tetapi uangnya dikelola sendiri off-budget.

Pola ini sebagian dipicu oleh kebijakan internal sektor migas. PetroChina mengacu pada Pedoman Tata Kerja SKK Migas No. PTK-017/2018 Buku III tentang Pengembangan Masyarakat. Di mana program PPM harus diberikan dalam bentuk natura (in-kind), bukan uang tunai.

Artinya, perusahaan tak boleh sembarangan memberi uang ke pemerintah daerah. Kontribusinya harus berbentuk barang/jasa. Pihak Dinas PUPR berdalih, karena aturan itu, maka kegiatan swakelola ini “tidak bisa dianggap hibah daerah” dan tidak dimasukkan ke LRA 2024. Mereka mengklaim telah menyusun laporan penggunaan dana sesuai format PetroChina (namun bukan laporan keuangan APBD).

BPK menolak dalih tersebut. Menurut BPK, bagaimanapun sumber dan bentuk bantuannya, begitu pemerintah daerah terlibat dan menerima manfaat dalam bentuk uang/barang, harus dicatat dalam APBD.

"Kalau memang skema hibah barang, seharusnya output jalan rigid 6 km itu dicatat sebagai aset daerah hasil hibah (nilai aset bahkan sudah diakui Pemda Rp24,258 M + Rp22,232 M sesuai BAST Desember 2024)," tegas BPK RI.

Faktanya, pencatatan aset/hibah baru dilakukan parsial di neraca. Tanpa melalui mekanisme anggaran yang semestinya. Dengan mengelola dana sendiri di rekening terpisah, pengeluaran Tim Swakelola Rp47,958 Miliar luput dari pengawasan dan audit normal APBD. Ini menciptakan ruang risiko penyelewengan. Uang ditarik tunai bergelombang, dibelanjakan tanpa kontrol, kualitas pekerjaan rendah, dan tidak ada mekanisme value for money bagi pemerintah daerah.

BPK memasukkan kasus ini sebagai Temuan Ketidakpatuhan (Temuan Nomor B.2 di LHP 2024). Selain itu, BPK RI juga menyoroti bahwa pengelolaan dana TJSL pada tiga SKPD lain di Tanjabtim juga tidak tertib (Temuan B.3). Contoh, terdapat dana CSR PetroChina total Rp684,48 juta untuk kegiatan BPBD, Damkar, dan sebuah SD negeri yang tidak dicatat di LRA. Pola off-budget ternyata meluas ke unit lain, menandakan masalah sistemik dalam tata kelola CSR di Pemkab Tanjabtim. Selengkapnya akan dibahas pada edisi berikut.

Singkatnya, dari sisi hukum dan aturan, menurut BPK RI, Pemkab Tanjabtim menyimpang dari regulasi keuangan negara. Akibatnya, pengelolaan dana TJSL rentan disalahgunakan dan akuntabilitas publik terganggu. BPK menilai Tim Swakelola PUPR gagal memahami prinsip akuntabilitas. Mengira karena ini “dana CSR”, boleh dikelola suka-suka di luar sistem.

Padahal sumber daya yang digunakan untuk pembangunan (tanah, tenaga PNS, dll) milik Pemda, sehingga wajib dipertanggungjawabkan secara utuh.

"Menginstruksikan Kepala Dinas PUPR untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran daerah sesuai ketentuan,"tegas BPK RI.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.