Tak ada yang menyangka. Guru-guru PPPK di Kerinci itu baru saja menerima SK penempatan. Di tengah semangat mengabdi, beberapa dari mereka ada yang mengambil pinjaman ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jambi—tempat mereka diarahkan oleh “oknum bank yang baik hati untuk membantu proses pencairan”.
Bulan berganti. Tak ada kabar soal pinjaman, apakah disetujui atau tidak. Tiba-tiba, beberapa guru kaget menegok slip gajinya. Kok sudah ada potongan angsuran muncul. Salah satunya, Mita Ayu, yang memeriksa saldo dan mendapati rekeningnya kosong.
Nah, drama kasus ini bermula dari sana.
Rafina (26), analis kredit di Cabang Pembantu Siulak, menjadi aktor utama dalam drama ini. Perempuan muda ini dikenal supel, penuh inisiatif membantu proses kredit. Di balik itu, ia diam-diam memalsukan tanda tangan, mengajukan slip palsu, dan menarik uang dari 27 rekening milik nasabah—dengan jumlah fantastis, Rp 7.117.025.555.
Rafina tak merampok dengan todongan. Ia memanfaatkan kelonggaran prosedur dan kepercayaan buta para petugas bank. Modusnya sederhana tapi mematikan.
Bagaimana cara kerjanya?
Pelaku memalsukan tanda tangan nasabah, terutama mereka yang pernah mempercayakan pengurusan kredit padanya. Ia lalu menggunakan slip penarikan palsu, yang tidak diverifikasi silang oleh teller. Kemudian ia mencairkan dana dalam jumlah besar, kadang ratusan juta hingga lebih dari satu miliar rupiah dari beberapa rekening. Tidak ada notifikasi kepada nasabah, karena sebagian besar korban belum mengaktifkan notifikasi digital.
Beberapa kali, Rafina bahkan datang langsung ke teller dengan membawa dokumen atas nama nasabah. Dengan senyum dan nama baiknya sebagai pegawai, pencairan mulus dilakukan. Semua berlangsung “seolah-olah sah”.
“Dia mengakunya ke teller bank, dia dipercaya oleh nasabah untuk mengambil uang. Karena berdasarkan nasabah sebelumnya, pihak teller akhirnya percaya dan mencairkan uang tersebut,” jelas Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jambi, AKBP Taufik Nurmandia.
Skandal ini tentu saja mencoreng wajah Bank Jambi. Bukan hanya karena jumlah kerugian, tapi juga karena profil para korban, yakni 20 guru PPPK dari Kerinci, Adirozal, mantan Bupati Kerinci dua periode, Yayasan Pendidikan Baitul Husna, Beberapa ASN aktif.
Siapa sangka, seorang tokoh daerah sekaliber Adirozal pun bisa menjadi korban. Tak satu, tapi tiga rekening pribadi milik Adirozal berhasil dibobol oleh tangan yang selama ini ia percaya.
“Dari hasil kita cek, ada nama beliau. Dia korban. Rekening yang tiga tadi dibobol,” kata AKBP Taufik.

Rafina adalah sosok yang dikenal Adirozal. Versi polisi, keduanya memiliki relasi cukup dekat dalam konteks profesional. Regina, yang juga dikenal sebagai RS dalam catatan internal bank, sering diminta bantuan oleh Adirozal untuk mengurus keperluan administrasi perbankan, seperti pencairan dana, pengecekan saldo, atau pengurusan slip.
Sebagai mantan pejabat daerah yang sering mempercayakan urusan teknis ke bawahannya atau staf bank, Adirozal tak merasa perlu mencurigai RS. Dalam banyak kesempatan, ia hanya menitipkan fotokopi berkas atau menelpon langsung untuk minta tolong. Kepercayaan itu yang kemudian dibayar mahal.
Tanpa sepengetahuannya, Rafina diam-diam mengeksekusi penarikan dari tiga rekening berbeda atas nama Adirozal. Dengan memalsukan tanda tangan dan mengisi slip penarikan fiktif, ia mencairkan dana hingga ratusan juta rupiah dari ketiga rekening tersebut—dan tak satupun transaksi itu diketahui langsung oleh sang pemilik rekening.
Awal keganjilan muncul ketika Adirozal hendak melakukan transaksi dan menemukan saldo yang lebih rendah dari seharusnya. Setelah dicek, muncul beberapa transaksi penarikan tunai dalam jumlah besar yang tidak pernah ia lakukan.
Pihak bank awalnya kebingungan. Dalam sistem, semua dokumen tercatat lengkap. Ada slip, ada tanda tangan, ada data pengajuan. Tapi ketika diverifikasi ulang, barulah pihak internal mendapati bahwa seluruh transaksi itu ternyata tidak pernah diotorisasi langsung oleh Adirozal.
Di sinilah nama Rafina muncul. Semua transaksi dilakukan melalui tangan yang sama. Ia mengeksekusi penarikan, menggunakan akses dan kepercayaan, serta memanfaatkan sistem bank yang longgar tanpa verifikasi silang biometrik atau video call seperti bank digital modern.
Data dari penyidik menunjukkan bahwa penarikan dari rekening Adirozal bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola sistematis pembobolan rekening selama lebih dari 13 bulan operasi (September 2023 – Oktober 2024).
Adirozal hanya satu dari 27 korban. Tapi justru keterlibatannya sebagai korban menunjukkan bahwa pelaku bergerak dengan rasa percaya diri ekstrem, merasa tak akan tersentuh hukum karena mengenal baik para korbannya.
Mereka merasa dikhianati sistem yang semestinya melindungi uang mereka.
“Saya tak pernah merasa tanda tangan pencairan itu. Tapi ada slipnya. Lalu uang saya sudah hilang,” ungkap salah satu nasabah.
Bagaimana mungkin seorang analis kredit bisa mencairkan dana nasabah tanpa sepengetahuan mereka?
Investigasi JambiLink menemukan celah Teller bank tidak melakukan verifikasi langsung ke nasabah. Ada kepercayaan personal berlebihan terhadap Rafina. Slip penarikan tidak diperiksa silang dengan sistem notifikasi SMS atau tanda tangan elektronik.
Diduga kuat, sistem manual dan hubungan personal membuat Regina “bebas” beroperasi selama lebih dari satu tahun, sejak September 2023 hingga Oktober 2024.
Polda Jambi telah menetapkan Rafina sebagai tersangka tunggal. Namun, banyak yang sangsi jika ia bertindak sendirian.
“Mekanisme bank tidak mungkin bisa dibobol sendiri tanpa celah internal. Ini bukan kerja solo, tapi mungkin ada ‘kelalaian sistemik’ atau pembiaran,” tegas salah satu nasabah.
Pihak Bank Jambi hingga kini belum memberikan pernyataan terbuka apakah teller yang melayani pencairan juga akan diperiksa. Kepala Cabang dan Kepala Kredit setempat pun belum dimintai keterangan publik secara resmi.
Dana itu tak lari ke investasi. Bukan juga untuk kebutuhan keluarga. Berdasarkan hasil forensik rekening dan pemeriksaan digital penyidik kepolisian, dana itu mengalir deras ke satu arah, judi online. Ia bahkan diketahui menyetor Rp70-80 juta sekali putaran untuk slot daring.
Hasil pemeriksaan keuangan menunjukkan aliran dana ditransfer ke akun-akun judi online lintas platform. Dalam satu hari, Radin bisa membakar ratusan juta rupiah—semuanya dari uang nasabah.
Diduga ia mengalami kecanduan berat judi online (pathological gambling). Pihak penyidik belum mengungkap siapa bandar atau platform perjudian yang menerima dana tersebut.
Meski telah menghabiskan sebagian besar uang hasil kejahatannya, Rafina disebut telah mengembalikan sebagian dana. Hingga kini, 17 nasabah menerima ganti rugi dengan total Rp 4 miliar, tetapi sekitar Rp 2 miliar masih belum dikembalikan kepada tujuh nasabah lainnya.
Sementara itu, Bank Jambi berjanji akan mengevaluasi SOP dan memperkuat pengawasan.
Kasus Rafina ini, selain cerita tentang mentalitas yang buruk, seorang analis kredit yang tergelincir oleh nafsu judi. Lebih jauh lagi, ini adalah refleksi sistemik atas lemahnya pengawasan internal lembaga keuangan daerah.
Bank Jambi tak boleh hanya menghukum individu. Tapi juga harus membuka lembar baru transparansi. Jika tidak, siapa yang menjamin rekening Anda tak akan dibobol berikutnya?(*)
Add new comment