Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, telah menjadi pusat putaran uang triliunan rupiah dari bisnis batu bara. Namun, pertanyaan yang terus membumbung: siapa sebenarnya penikmat kekayaan ini?
Apakah rakyat Jambi ikut merasakan manisnya emas hitam yang dikeruk dari tanah mereka?
Realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Di tengah besarnya nilai transaksi bisnis batu bara itu, warga justru menjadi penonton. Mereka hanya merasakan debu, jalanan rusak, air sungai tercemar, serta ancaman bencana ekologis akibat tambang batu bara yang semakin menggila.
Puluhan perusahaan tambang batu bara—baik yang beroperasi secara legal maupun ilegal—telah mengubah Koto Boyo menjadi neraka bagi lingkungan. Tak ada reklamasi, tak ada kompensasi nyata bagi rakyat, sementara uang miliaran rupiah terus mengalir ke kantong-kantong elite tertentu.
Seorang pengacara senior di Jambi, yang sering menangani kasus para pengusaha batu bara, mengungkapkan betapa besarnya perputaran uang di bisnis ini.
"Kondisi di Koto Boyo itu mengerikan! Putaran uangnya sangat besar, bisa triliunan rupiah. Tapi, uang itu masuk ke kantong-kantong segelintir orang tertentu, bukan ke rakyat Jambi," ujarnya.
Menurutnya, bisnis batu bara di Jambi bukan hanya soal eksploitasi sumber daya alam. Melainkan juga telah menjadi jaringan kekuasaan dan kepentingan yang melibatkan berbagai pihak.
"Kalau bicara keuntungan, siapa yang menikmati? Apakah rakyat? Tidak! Yang menikmati adalah pengusaha, oknum pejabat, dan mafia tambang yang bermain di balik layar. Rakyat cuma kebagian dampaknya!" tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bagaimana Koto Boyo kini telah berubah drastis akibat pertambangan besar-besaran.
"Saya melihat sendiri bagaimana daerah ini hancur. Koto Boyo bukan lagi tanah yang subur, tapi sudah berubah jadi lautan danau bekas tambang. Tidak ada reklamasi, tidak ada pemulihan lingkungan!" katanya.
Ia pun menegaskan tak ada satupun subsidi dari hasil tambang yang diberikan langsung untuk kesejahteraan rakyat Jambi.
"Seharusnya ada kompensasi untuk rakyat! Tapi faktanya? Nol! Tidak ada subsidi listrik, tidak ada dana kompensasi untuk lingkungan. Yang ada hanya kerusakan, dan rakyat terpaksa hidup di tengah kehancuran!" ucapnya dengan nada kesal.
Ia juga mengungkapkan betapa parahnya kerusakan lingkungan di Koto Boyo akibat aktivitas tambang yang brutal dan tak terkendali.
"Koto Boyo sudah berubah jadi lautan bekas tambang. Danau-danau besar terbentuk karena lubang tambang yang dibiarkan begitu saja. Tidak ada reklamasi, tidak ada pemulihan lingkungan! Ini kehancuran yang nyata!" tegasnya.
Menurutnya, tambang batu bara yang beroperasi di Koto Boyo baik yang legal apalagi yang ilegal, sama-sama tidak menjalankan kewajibannya untuk melakukan reklamasi. Hutan yang dulu rimbun, kini hanya tersisa tanah gersang dan lubang raksasa bekas galian tambang.
Ia juga mengkritisi lemahnya pengawasan dari pemerintah terhadap perusahaan tambang.
"Aturan soal reklamasi itu sudah ada! Perusahaan wajib memperbaiki lahan setelah tambang selesai. Tapi lihat realitanya, mana reklamasi itu? Hanya janji-janji kosong!" pungkasnya.
Situasi di Koto Boyo yang semakin buruk membuat banyak pihak mendesak agar ada perubahan besar dalam kebijakan pengelolaan batu bara di Jambi.
Sejumlah pihak menilai bahwa pemerintah daerah harus lebih agresif dalam menekan perusahaan tambang untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Pajak batu bara harus benar-benar dikembalikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite! Perusahaan harus diwajibkan memberikan dana kompensasi kepada warga terdampak! Reklamasi harus segera dilakukan agar lingkungan tidak semakin hancur! Bupati dan Gubernur Jambi harus turun tangan, jangan hanya diam melihat rakyatnya menderita!
Sementara pemilik tambang dan oknum tertentu hidup bergelimang kekayaan dari bisnis batu bara, warga Koto Boyo justru semakin menderita.
Roni (42), warga setempat, mengungkapkan betapa sulitnya hidup di tengah aktivitas tambang batu bara yang tidak terkendali.
"Kami ini cuma bisa lihat truk-truk lewat, tapi tidak dapat apa-apa dari hasil tambang ini. Jalanan di desa kami hancur, debunya bikin sesak napas, sungai yang dulu bersih sekarang sudah penuh lumpur tambang. Mau cari air bersih pun susah!" keluhnya.
Warga lain, Siti (36), ibu rumah tangga, mengaku khawatir dengan kesehatan anak-anaknya akibat debu tambang.
"Setiap hari anak-anak batuk karena debu dari jalan yang dilewati truk batu bara. Udara sudah tidak sehat lagi. Tapi, apakah ada bantuan dari pemerintah atau perusahaan tambang? Tidak ada!" katanya dengan nada kecewa.
Tak hanya kesehatan, kehidupan ekonomi warga pun tidak mengalami perubahan signifikan. Meskipun batu bara dikeruk dari tanah mereka, masyarakat lokal tetap miskin, banyak yang masih menganggur, dan tidak ada jaminan sosial dari perusahaan tambang.
"Katanya batu bara ini menguntungkan daerah, tapi mana buktinya? Sekolah masih rusak, harga bahan pokok tetap mahal, lapangan kerja minim. Kami hanya melihat kekayaan ini mengalir ke Jakarta, ke rekening para pengusaha dan pejabat!" ujar seorang tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya.
Kasus Koto Boyo hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana kekayaan alam Jambi dieksploitasi tanpa keadilan bagi rakyatnya.
Saat ini, rakyat hanya menjadi penonton yang melihat triliunan rupiah mengalir ke segelintir orang, sementara mereka sendiri harus hidup dengan kerusakan lingkungan, polusi udara, dan minimnya manfaat ekonomi dari bisnis tambang ini.
Jika pemerintah tidak segera bertindak tegas, maka bukan tidak mungkin konflik sosial akan meledak akibat ketimpangan yang semakin tajam.(*)
Add new comment