Curhat Gubernur di Meja Menteri

WIB
IST

Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, pasti sedikit terkejut. Kantornya didatangi rombongan besar. Isinya para gubernur se-Indonesia. Lengkap. Senin kemarin 7 Oktober 2025.

Yang memimpin langsung adalah Gubernur Jambi, Al Haris. Posisinya saat itu memang sedang genting. Bukan hanya sebagai gubernur, tapi juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Dialah panglimanya para gubernur.

Mereka datang bukan untuk demo. Bukan untuk marah-marah. Al Haris memilih kata yang sangat Indonesia. "curhat". Ya, mencurahkan isi hati. Sebuah pilihan kata yang cerdas. Lebih lunak didengar, tapi pesannya menusuk langsung ke jantung masalah.

Apa masalahnya? Angka.

Angka yang membuat semua kepala daerah pusing tujuh keliling. Dalam rancangan anggaran 2026, dana Transfer ke Daerah (TKD) mau dipotong. Bukan sekadar dipotong, tapi dipangkas habis-habisan. Angkanya gila-gilaan. Lebih dari Rp 200 triliun lenyap. Persentasenya 25 sampai 29 persen.

Seorang anggota DPR di Senayan sampai nyeletuk, ini adalah "penurunan terbesar sepanjang sejarah". Sejarah republik ini.

Al Haris, yang punya pengalaman dari birokrat, bupati dua periode, hingga kini gubernur, paham betul apa arti angka itu. Ini bukan sekadar statistik di atas kertas. Ini soal denyut nadi pemerintahan di pelosok-pelosok.

Di depan Menteri Purbaya, Al Haris membeberkan "curhat" itu. Isinya bukan lagi soal proyek-proyek mercusuar. Sudah tidak level itu.

"Kami di daerah bisa kesulitan bayar TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai)," ujarnya.

Bahkan, lebih gawat lagi, soal gaji PPPK. Pegawai yang direkrut atas perintah pusat, tapi gajinya dibebankan ke APBD. Kalau dana dipotong, bagaimana membayarnya? Padahal itu kewajiban hukum.

Puncak curhat Al Haris sangat menohok.

"Tidak lagi bicara visi misi, yang penting roda pemerintahan jalan," katanya.

Kalimat ini seperti alarm kebakaran. Para gubernur merasa, dengan pemotongan ini, mereka bukan lagi administrator pembangunan, melainkan sekadar manajer bertahan hidup.

Pemerintah pusat punya alasan sendiri. Kata mereka, ini bukan pemotongan. Ini cuma "pergeseran". Uangnya tak hilang, hanya pindah kantong. Dari yang tadinya diberikan ke Pemda dalam bentuk TKD, kini dikelola langsung oleh Kementerian/Lembaga (K/L) untuk proyek di daerah.

Logikanya, agar program prioritas nasional lebih terjamin. Agar sejalan dengan arahan Presiden. Angkanya pun fantastis. Belanja K/L di daerah justru melonjak jadi Rp 1.376,9 triliun.

Tapi bagi para gubernur, logikanya beda. Uang itu memang ada di daerah, tapi yang pegang remotnya Jakarta. Daerah tidak punya fleksibilitas. Program yang datang dari atas belum tentu cocok dengan kebutuhan di bawah. Ini hantu lama yang bangkit lagi. Sentralisasi.

Di sinilah peran Al Haris sebagai Ketua APPSI diuji. Pendekatannya yang memilih kata "curhat" ternyata efektif. Menteri Purbaya, kata Al Haris, "responsif sekali". Ia tak menutup pintu. Ia berjanji akan meninjau ulang angka-angka itu.

Janji itu bukan janji kosong.

Lewat lobi-lobi lanjutan, termasuk dengan Badan Anggaran DPR, perjuangan para kepala daerah membuahkan hasil. Ada tambahan Rp 43 triliun untuk TKD.

Angkanya memang tak bisa mengembalikan semua yang hilang. Tentu tidak. Tapi, dalam politik anggaran, angka Rp 43 triliun itu adalah kemenangan besar. Itu adalah napas tambahan. Cukup untuk mencegah beberapa daerah dari kelumpuhan total.

Episode ini lebih dari sekadar soal uang. Ini soal keseimbangan. Keseimbangan antara pusat dan daerah. Al Haris, lewat APPSI, tidak sedang melawan pusat. Ia sedang mengingatkan. Bahwa otonomi daerah adalah anak kandung reformasi yang harus terus dirawat.

Pusat boleh punya program prioritas. Itu wajib. Tapi daerah lebih tahu dapurnya sendiri. Krisis ini juga menjadi tamparan bagi daerah. Jangan lagi terlalu nyaman dengan dana transfer. Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus digenjot. Kreativitas harus dipaksa keluar.

Pertemuan 7 Oktober itu menjadi titik balik. Sebuah konfrontasi yang berakhir dengan kompromi. Dipimpin seorang Gubernur dari Jambi yang memilih untuk tak berteriak, melainkan "curhat" dengan data di tangan. Hasilnya ternyata lebih nyaring.

Dan di tengah pusaran itu, ada sosok Al Haris. Seorang anak dusun dari Jambi. Geraknya ligat, cekatan. Ternyata, ia tak hanya sukses memimpin daerahnya sendiri. Para gubernur lain, dari provinsi yang jauh lebih besar pun, menaruh percaya padanya. Mereka menunjuknya sebagai panglima.

Menjadi ujung tombak dalam lobi-lobi tingkat tinggi di Jakarta. Episode 'curhat' fiskal ini bukan lagi soal Jambi. Ini adalah panggung pembuktian. Sebuah bukti kapasitas, bahwa anak dusun pun bisa memimpin para gubernur.

Kemampuan seperti ini biasanya adalah anak tangga. Mungkin saja suatu saat levelnya bisa sekelas menteri. Siapa tahu.

Energinya seolah tak punya tombol off. Pertarungan anggaran di Jakarta selesai, ia langsung terbang pulang. Tak ada jeda. Lihat saja agendanya hari ini, Rabu, sehari setelah diplomasi tingkat tinggi itu. Pagi-pagi sudah soal tanam jagung di Muaro Jambi bersama Polda. Siangnya mengurus soal BBM subsidi. Malamnya, lebih menarik lagi. Ia menerima tamu penting, Direktur dari Kementerian Keuangan.

Baru kemarin 'beradu argumen' dengan Menterinya, hari ini ia sudah membahas skema pembiayaan infrastruktur dengan Direkturnya. Lobi di level makro jalan, eksekusi di level mikro tak berhenti. Berikutnya, sudah harus melepas kafilah STQ tingkat nasional. Dari urusan anggaran triliunan, ke kebun jagung, lalu kembali ke meja perundingan infrastruktur. Mobilitas seperti itulah yang menjadi bahan bakar kepemimpinan.(*)

Awin Sutan Mudo

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.