Sengketa tanah antara dua pengusaha Jambi, Budi Harjo alias Acok dan Fendi, yang semula hanya duel klaim kepemilikan, kini meledak menjadi konflik segitiga yang panas. Pemicunya bukan datang dari ruang sidang, melainkan dari meja birokrasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Jambi.
Sebuah "bom waktu" meledak ketika terungkap bahwa dinas PU menerbitkan dua surat resmi dengan sikap yang saling bertolak belakang 180 derajat dalam kurun waktu dua tahun.
Publik dibuat tercengang. Bagaimana mungkin satu institusi pemerintah bisa memiliki dua sikap hukum yang berbeda atas objek sengketa yang sama? Inkonsistensi ini tak hanya memperkeruh suasana, tapi juga menyeret Dinas PUPR ke pusat pusaran konflik, mengubah peta sengketa dari duel privat menjadi pertarungan terbuka antara warga, pemerintah, dan sesama warga.
Polemik Dua Surat Dinas PU
Pada tahun 2023, saat sengketa ini mulai memanas, Dinas PUPR Kota Jambi mengambil posisi yang aman dan normatif. Dalam sebuah surat resmi yang kini menjadi bukti kunci di tangan pihak Acok, dinas PU dengan tegas menyatakan perselisihan mengenai batas tanah dan kepemilikan bukanlah ranah kewenangan mereka.
Sikap ini sejalan dengan prosedur hukum standar, di mana sengketa perdata terkait batas kepemilikan tanah merupakan domain absolut Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk pengukuran dan Pengadilan Negeri untuk pembuktian hak.
Dengan kata lain, pada tahun 2023, Dinas PUPR bersikap "netral" dan secara tak langsung mempersilakan para pihak untuk menyelesaikan masalah di jalur yang semestinya, meja hijau. Mereka memposisikan diri sebagai lembaga teknis yang tak akan ikut campur dalam sengketa hak keperdataan.
Dua tahun berselang, sikap netral itu menguap tanpa jejak. Pada 17 September 2025, Dinas PUPR Kota Jambi melayangkan Surat Peringatan Pertama (SP-1) dengan Nomor 600.3.3/1023/V.13-DPUPR/2025 kepada Budi Harjo. Isi surat itu bak petir di siang bolong, memerintahkan Acok untuk segera membongkar pagar yang ia bangun di atas tanah yang disengketakan.
Perubahan sikap ini sangat drastis. Dari yang semula menyatakan tak berwenang, Dinas PUPR kini bertransformasi menjadi eksekutor yang mengambil posisi tegas. Mereka tak lagi menjadi penonton, melainkan pemain aktif yang intervensinya sangat menguntungkan salah satu pihak yang bersengketa.
Surat "sakti" ini sontak memantik perlawanan keras dari kubu Acok dan menjadi babak baru yang jauh lebih rumit dalam sengketa ini.
Terkuaknya dua surat yang kontradiktif ini secara fundamental mengubah dinamika konflik. Sengketa yang awalnya merupakan pertarungan klaim sertifikat antara Acok dan Fendi, kini menjelma menjadi konflik segitiga, antara Acok versus Fendi, dan Acok versus Dinas PUPR Kota Jambi.
Inkonsistensi sikap pemerintah ini membuka kotak pandora pertanyaan publik. Apa yang sebenarnya terjadi di internal Dinas PUPR antara tahun 2023 hingga 2025?
Perubahan sikap yang radikal ini, klaim pihak Acok, tak hanya merusak kredibilitas dinas terkait, tetapi juga memunculkan dugaan adanya maladministrasi.
Berikut adalah perbandingan sikap kontradiktif Dinas PUPR yang menjadi inti masalah:
Aspek Analisis | Surat PUPR (2023) | Surat Peringatan PUPR (17 September 2025) | Argumen Pihak Budi Harjo (Acok) | Argumen Dinas PUPR (Pembelaan) |
Kewenangan | Menyatakan sengketa bukan ranah/kewenangan PUPR. | Mengambil tindakan aktif dengan memerintahkan pembongkaran. | PUPR melampaui kewenangan (ultra vires), masuk ranah hakim. | Menjalankan tugas sesuai aturan dan data BPN. |
Status Objek | Tidak mengambil posisi atas status tanah/pagar. | Mengidentifikasi pagar sebagai pelanggaran yang menutup akses jalan. | Pagar berada di atas tanah SHM yang sah hingga dibatalkan pengadilan. | Tanah 11,5 meter adalah jalan umum sesuai dokumen resmi. |
Sikap | Pasif dan netral. | Aktif, intervensif, dan memerintah. | PUPR berpihak pada Fendi, mengadopsi petitum gugatan. | Tidak berpihak, bertindak untuk kepentingan bersama. |
Kuasa hukum Acok, Irwan SH menegaskan langkah Dinas PUPR pada tahun 2025, yang dilakukan justru saat proses hukum sedang berjalan di pengadilan, merupakan sebuah anomali.
"Sebuah badan administrasi negara idealnya menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) sebelum mengambil tindakan eksekutorial, terutama dalam sengketa perdata. Dengan menerbitkan perintah bongkar, Dinas PUPR seolah-olah telah memvonis Acok bersalah sebelum hakim mengetuk palu, sebuah tindakan yang mengabaikan dan tidak menghormati proses peradilan yang sedang berlangsung," beber Irwan SH.
Duduk Perkara Sengketa 11,5 Meter
Akar dari seluruh kekisruhan ini adalah sebidang tanah selebar 11,5 meter. Objek sengketa ini terletak di lokasi yang sangat strategis, di Jalan Lingkar Selatan, RT 02, Kelurahan Talang Gulo, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi. Posisinya yang persis berada di seberang Markas Komando (Mako) Brigade Mobil (Brimob) Polda Jambi membuat setiap perkembangan kasus ini mudah terpantau oleh publik.
Di satu sisi, ada Budi Harjo alias Acok, seorang pengusaha yang mengklaim tanah tersebut adalah bagian sah dari propertinya. Di sisi lain, ada Fendi, pengusaha lain yang juga bersikukuh atas klaimnya terhadap bidang tanah yang sama.
Keduanya sama-sama memegang "senjata pamungkas" dalam sengketa agraria itu, yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh negara melalui BPN. Inilah yang membuat sengketa ini menjadi rumit, karena ini adalah pertarungan antara dua produk hukum yang seharusnya memberikan kepastian.
Menurut versi Fendi, bidang tanah selebar 11,5 meter itu adalah sebuah jalan. Klaim ini didasarkan pada gambar dan keterangan yang tertera dalam SHM miliknya, yaitu SHM No. 3594 seluas 3.595 m2 dan SHM No. 3595 seluas 4.904 m2.
Dalam sertifikat Fendi, disebutkan dengan jelas bahwa di samping tanahnya yang berbatasan langsung dengan lahan Acok, terdapat akses jalan selebar 11,5 meter. Bagi Fendi, keberadaan jalan ini sangat vital untuk akses dan mobilitas ke propertinya. Pembangunan pagar oleh Acok dianggap telah menutup akses tersebut secara sepihak.
Sebaliknya, Budi Harjo (Acok) memiliki pandangan yang sama sekali berbeda. Berdasarkan SHM yang ia pegang, tak ada keterangan atau gambar yang menunjukkan adanya jalan di atas tanahnya. Ia bersikeras bahwa pagar yang ia bangun berdiri kokoh di atas tanah miliknya sendiri, sesuai dengan patok batas yang tertera di sertifikat dari BPN.
"Saya membangun pagar di atas tanah saya, sesuai patok batas, berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dari BPN. Tidak ada jalan di lokasi itu," tegas Acok.
Yang menarik, SHM milik Acok memang lebih tua atau lebih dulu terbit ketimbang sertifikat Fendi.
Nah...
Karena klaim yang saling bertentangan dan tak menemukan titik temu, Fendi akhirnya membawa sengketa ini ke ranah hukum. Ia melayangkan gugatan perdata terhadap Acok di Pengadilan Negeri Jambi. Fendi menuntut agar pagar itu dibongkar karena dianggap menutup akses jalan miliknya. Gugatan inilah yang menjadi arena pertarungan legalitas sertifikat kedua belah pihak.
Fakta bahwa BPN kemudian menjadi pihak Turut Tergugat dalam kasus ini mengonfirmasi bahwa produk hukum yang mereka keluarkan adalah inti dari persoalan ini.
Badai Kritik untuk Dinas PU
Langkah Dinas PUPR Kota Jambi menerbitkan SP-1 untuk pembongkaran pagar milik Acok langsung disambut badai kritik. Tim kuasa hukum Acok, yang dipimpin oleh Irwan, SH, menyebut tindakan tersebut "offside" dan merupakan langkah keliru terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
"Ini proses hukum yang sepenuhnya berada di pengadilan. Bukan sengketa antara individu melawan publik atau negara. Jadi, kami merasa janggal dan menilai Dinas PU telah offside,” kata Irwan kepada wartawan.
Kritik utama yang dilayangkan adalah bahwa Dinas PUPR telah bertindak di luar kewenangannya, atau ultra vires. Menurut tim hukum Acok itu, hak untuk menilai sah atau tidaknya sebuah kepemilikan tanah dan bangunan di atasnya adalah wewenang absolut hakim di pengadilan, bukan dinas teknis seperti PUPR.
Dengan memerintahkan pembongkaran pagar, Dinas PUPR dituding telah mengambil peran sebagai hakim dan eksekutor sekaligus. Mereka dianggap telah membuat putusan sepihak terhadap objek yang status hukumnya masih diperdebatkan di pengadilan.
"Padahal, seharusnya mereka menunggu hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap," tegasnya.
Kritik kedua menyasar pada pengabaian asas hukum fundamental, yaitu asas praduga keabsahan (presumption of legal validity). Dalam hukum agraria, menurut Irwan SH, setiap sertifikat tanah yang diterbitkan oleh BPN dianggap sah dan benar sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya dan membatalkannya.
Tim hukum Acok berargumen bahwa SHM yang dimiliki kliennya adalah bukti hukum yang sah. Dengan menerbitkan SP-1, Dinas PUPR seolah-olah telah menyatakan SHM milik Acok tak berlaku dan pagar di atasnya ilegal, tanpa melalui proses pembuktian di pengadilan.
“Dengan surat itu, PUPR seakan mengabaikan asas fundamental itu,” ujar Irwan.
Kuasa hukum Acok melihat adanya potensi keberpihakan.
"Isi dari SP-1 yang menuntut pembongkaran pagar ternyata identik dengan salah satu poin tuntutan (petitum) dalam gugatan yang dilayangkan Fendi di pengadilan," katanya.
"Padahal, petitum hanyalah sebuah permintaan dari penggugat dan belum memiliki kekuatan hukum apa pun sebelum dikabulkan oleh hakim," imbuhnya.
Kekisruhan ini juga mengundang sorotan dari para aktivis. Nazli, seorang aktivis Jambi, menilai sikap Dinas PUPR yang berubah-ubah adalah indikasi kuat adanya potensi maladministrasi. Inkonsistensi antara surat tahun 2023 yang menyatakan tidak berwenang dan surat tahun 2025 yang justru memerintahkan eksekusi adalah contoh klasik dari tata kelola pemerintahan yang buruk.
"Inkonsistensi administratif. PUPR pada 2023 menyebut sengketa bukan ranah mereka, tapi 2025 justru masuk lebih jauh dengan perintah bongkar pagar," ujar Nazli.
Menurutnya, tindakan pemerintah harus didasarkan pada regulasi yang jelas dan tidak boleh merugikan salah satu pihak secara sepihak.
"Kalau pemerintah tidak transparan, publik wajar curiga. Ini bukan sekadar soal pagar, tapi soal kredibilitas tata kelola pemerintahan,” tegasnya.
Menghadapi intervensi ini, tim hukum Acok tidak tinggal diam. Mereka melakukan manuver hukum yang strategis untuk melawan. Pada 19 September 2025, mereka melayangkan surat keberatan resmi kepada Dinas PUPR. Namun, yang membuat langkah ini menjadi sebuah eskalasi serius adalah surat tersebut ditembuskan ke enam institusi penegak hukum dan pemerintahan tingkat tinggi, yaitu Kapolda Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi, Ketua PN Jambi, Wali Kota Jambi, Ketua DPRD Kota Jambi, dan Kapolresta Jambi.
Langkah ini secara efektif mengangkat level konflik. Dari yang semula sengketa perdata, kini bergeser menjadi laporan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Dengan melibatkan kepolisian dan kejaksaan, kubu Acok mengirim sinyal kuat bahwa mereka siap menempuh jalur hukum pidana jika Dinas PUPR nekat melanjutkan tindakannya.
"Kita minta APH ikut mengusut masalah ini," ujarnya.
Pembelaan Dinas PU: 'Kami Tak Berpihak, Ini Demi Jalan untuk Kepentingan Bersama'
Di tengah derasnya kritik, Dinas PUPR Kota Jambi akhirnya buka suara. Melalui Kepala Bidang Tata Ruang, Laswanto, mereka memberikan klarifikasi dan pembelaan atas penerbitan SP-1 yang kontroversial tersebut.
Poin utama yang ditekankan Laswanto adalah netralitas. Ia berulang kali menegaskan bahwa Dinas PUPR tidak berpihak kepada siapa pun dalam sengketa ini, baik Acok maupun Fendi. Menurutnya, surat peringatan itu dikeluarkan murni untuk menjalankan tugas dan menegakkan peraturan yang berlaku.
“Kita hanya melaksanakan sesuai aturan. Tidak ada keberpihakan,” ujar Laswanto.
Ia memposisikan tindakan dinasnya sebagai upaya penertiban yang didasarkan pada kewenangan yang mereka miliki terkait tata ruang dan pemanfaatan jalan.
Lalu, apa yang mendasari perubahan sikap drastis dari tahun 2023 ke 2025?
Laswanto mengklaim bahwa tindakan mereka didasarkan pada data baru dan hasil verifikasi. Ia menjelaskan bahwa Dinas PUPR telah melakukan pengecekan lapangan serta berkoordinasi dan memperoleh data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Hasil dari verifikasi tersebut, menurut Laswanto, menyimpulkan bahwa bidang tanah seluas 11,5 meter yang dipagari oleh Acok memang merupakan jalan umum. Data dari BPN dan dokumen resmi lainnya disebut-sebut mengonfirmasi bahwa area tersebut tidak termasuk dalam SHM milik Budi Harjo. "Data baru" inilah yang dijadikan pembenaran atas perubahan sikap dan penerbitan SP-1.
Pembelaan Dinas PUPR juga dibingkai dalam narasi kepentingan publik. Laswanto menyatakan tujuan utama mereka adalah untuk mengamankan aset negara atau fasilitas umum, dalam hal ini adalah jalan. Ia berargumen bahwa jika pagar tersebut dibongkar, akses jalan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, tidak hanya oleh Fendi, tetapi juga oleh Budi Harjo sendiri.
“Artinya, jalan itu untuk kepentingan bersama. Bukan hanya milik satu pihak,” ujarnya.
Sidang Tertunda dan Nasib Sengketa di Ujung Palu Hakim
Di tengah hiruk pikuk intervensi birokrasi, pertarungan sesungguhnya antara Acok dan Fendi terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jambi. Kasus ini terdaftar dengan nomor perkara 252/Pdt.G/2024/PN Jmb. Komposisi para pihaknya pun sangat menarik, Fendi sebagai Penggugat, Budi Harjo (Acok) sebagai Tergugat I, dan yang paling krusial, Kantor Pertanahan Kota Jambi (BPN) duduk di kursi Turut Tergugat.
Sidang perdana digelar pada Rabu, 5 Februari 2025, dengan agenda pemeriksaan identitas para pihak. Sesuai prosedur, majelis hakim menunjuk seorang mediator dari PN Jambi, Tatap Urasima Situngkir, untuk memfasilitasi jalan damai. Para pihak diberi waktu 30 hari untuk menempuh jalur mediasi, dengan pertemuan dijadwalkan pada 26 Februari 2025.
Namun, upaya damai ini tampaknya tidak membuahkan hasil. Pihak Budi Harjo, melalui kuasa hukumnya, sejak awal menyatakan kesiapannya untuk menghadapi gugatan di persidangan.
"Pada intinya kita siap menjalani dan tak ada masalah," tegasnya kala itu.
Kegagalan mediasi ini memastikan bahwa sengketa akan diputuskan melalui adu bukti dan argumen di hadapan majelis hakim.
Perjalanan kasus di pengadilan tak berjalan mulus. Sidang pembacaan gugatan yang dijadwalkan pada Rabu, 16 April 2025, terpaksa ditunda. Hingga kini, proses sidang masih belum berakhir.
Salah satu saksi ahli yang sempat disebut mengemukakan sebuah prinsip umum dalam hukum pertanahan, sertifikat tanah yang usianya lebih tua seringkali dianggap lebih valid dan memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi. Prinsip ini kemungkinan besar akan menjadi salah satu argumen kunci yang akan diadu.
Fendi tak hanya menggugat Acok, melainkan juga BPN. Karena sumber masalah terletak pada produk yang mereka keluarkan. Putusan hakim nantinya tak hanya akan menentukan siapa pemilik sah bidang tanah 11,5 meter itu. Tapi juga akan menjadi vonis terhadap kinerja dan akurasi data BPN Kota Jambi.
Apapun putusannya, kredibilitas BPN sebagai lembaga negara yang menjamin kepastian hukum atas tanah dipertaruhkan di ujung palu hakim. Nantikan terus update dan perkembangan kasusnya.(*)
Add new comment