PT Runggu Prima Jaya baru-baru ini membetot perhatian publik usai memenangkan tender mega proyek pembangunan tanggul penutup, fasilitas bendung, dan jaringan irigasi D.I. Batang Asai di Kabupaten Sarolangun, Jambi, senilai Rp 57 miliar.
Perusahaan berbasis di Jakarta Timur ini keluar sebagai pemenang dengan penawaran terendah Rp 45,59 miliar. Mereka mengalahkan 109 peserta lain. Proyek yang dibiayai APBN 2025 lewat BWSS VI Jambi itu sebelumnya sempat gagal lelang pada tahap awal dan harus ditender ulang.
Sebagai pemenang tunggal, kapasitas PT Runggu Prima Jaya sempat dipertanyakan mengingat lokasi pekerjaan yang terpencil dan tantangan teknis di lapangan. Namun, masa sanggah telah berlalu dan kontrak pun diarahkan untuk dilaksanakan.
Publik kini menunggu apakah kontraktor ini mampu menuntaskan proyek strategis tersebut sesuai harapan, mengingat nilai kontrak yang besar dan lokasinya yang “ujung dunia” jauh dari sorotan.

Jejak Profil dan Perubahan Akta Perusahaan
PT Runggu Prima Jaya adalah perusahaan konstruksi berpengalaman yang telah berdiri sejak era Orde Baru. Perusahaan ini didirikan oleh Ignatius Mahidin Pakpahan, seorang pengusaha papan atas asal Sumatra Utara yang merintis karier bisnisnya dari nol.
Secara legal, PT Runggu Prima Jaya tercatat beberapa kali melakukan perubahan akta pendirian sepanjang perjalanannya. Akta pendirian pertama terbit tahun 1983. Selanjutnya terjadi perubahan akta pada tahun 2002, 2009, 2011, 2014, 2015 hingga perubahan terakhir pada 4 Agustus 2023.
Kerapnya perubahan akta ini mengindikasikan adanya penyesuaian struktur perusahaan, entah pergantian pemegang saham, perubahan nama, atau restrukturisasi internal. Bahkan, diketahui perusahaan ini sempat menggunakan nama lain dalam kegiatan usahanya.
Sebuah laporan investigasi menyebut PT Runggu Prima Jaya sebelumnya bernama PT Mulia Agro Lestari (PT MAL). Hal ini terkonfirmasi saat Bupati Indragiri Hulu pada 2011 menerbitkan surat penolakan izin perkebunan dengan menyebut “PT Runggu/MAL”. Ini mengindikasikan kedua nama merujuk pada entitas yang sama.
Perubahan nama dari PT MAL ke PT Runggu Prima Jaya diduga dilakukan seiring diversifikasi usaha perusahaan dari sektor perkebunan ke konstruksi, atau sebaliknya. Saat ini, PT Runggu Prima Jaya tercatat sebagai anggota asosiasi kontraktor GAPEKNAS dan memiliki sertifikat badan usaha (SBU) di berbagai klasifikasi jasa konstruksi, mulai dari pekerjaan tanah, jalan, jembatan, hingga prasarana sumber daya air.
Proyek Saringan Sampah Ciliwung yang Mangkrak
Rekam jejak PT Runggu Prima Jaya di dunia proyek konstruksi tak luput dari sorotan negatif. Di DKI Jakarta, nama perusahaan ini mencuat dalam proyek “Saringan Sampah” Sungai Ciliwung senilai Rp 195 miliar yang digagas Dinas Lingkungan Hidup DKI.
Proyek ini dikerjakan melalui skema Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT PP Presisi Tbk (perusahaan BUMN) dan PT Runggu Prima Jaya sebagai mitra. Pekerjaan dimulai September 2022 dan kontrak seharusnya berakhir Desember 2022. Namun hingga akhir 2023 progresnya baru sekitar 30% sehingga, kala itu proyek dikategorikan mangkrak.
Ironisnya, meski proyek jauh dari selesai, pihak kontraktor sudah menagih dan menerima pembayaran 54% nilai kontrak (sekitar Rp 108 miliar) pada akhir 2022. Temuan mencolok ini diungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan memicu kecurigaan adanya kejanggalan serius.
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, kala itu sempat mendesak aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki dugaan kolusi antara oknum pejabat DKI dan kontraktor dalam proyek mangkrak tersebut.
Pasalnya, biasanya kontraktor yang gagal menyelesaikan pekerjaan akan diputus kontrak dan diblacklist. Tapi, hal itu tak terjadi pada PT PP Presisi maupun PT Runggu Prima Jaya dalam proyek ini. Ali Husen, Ketua Komunitas Jakarta Baru, bahkan secara tegas meminta Kepala Dinas LH DKI dan pihak kontraktor, termasuk Direktur PT Runggu Prima Jaya, diperiksa atas dugaan penyimpangan proyek saringan sampah Ciliwung.
Kasus ini tengah bergulir dan menjadi catatan merah dalam rekam jejak PT Runggu Prima Jaya di sektor konstruksi.
Polemik Perkebunan Sawit Ilegal di Riau
Tak hanya di proyek pemerintah, jejak PT Runggu Prima Jaya juga ditemukan dalam polemik lingkungan hidup. Perusahaan ini diketahui terlibat dalam pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Investigasi berbagai sumber mengungkap PT Runggu Prima Jaya, kala itu juga dikenal sebagai PT Mulia Agro Lestari, diduga membabat hutan lindung Bukit Batabuh seluas sekitar 3.000 hektare di Kecamatan Peranap, Inhu (selengkapnya baca di sini detakindonesia.co.iddetakindonesia.co.id).
Aktivitas pembukaan lahan dan penanaman sawit tersebut dilaporkan bermasalah. Bahkan permohonan izin perusahaan ini pernah ditolak oleh Bupati Inhu pada 2011. Meski demikian, kebun sawit di kawasan lindung itu sudah berproduksi dan panen.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru bersama warga setempat melaporkan kasus dugaan perambahan hutan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta ke Polda Riau pada 2017-2018. Aparat penegak hukum sempat turun menyelidiki.
Pada 2021, Polda Riau akhirnya menyatakan tidak menemukan bukti kuat adanya perambahan hutan oleh PT Runggu Prima Jaya setelah melakukan pengecekan lapangan bersama pelapor, dan menyerahkan tindak lanjut kasusnya ke Dirjen Gakkum KLHK. Kendati demikian, bagi kalangan pegiat lingkungan, nama PT Runggu Prima Jaya telanjur lekat dengan contoh kasus dugaan korporasi membuka lahan ilegal di kawasan terlarang.
Terseret Kasus OTT KPK 2016
Reputasi PT Runggu Prima Jaya juga pernah tersentuh oleh penegakan hukum di tingkat nasional. Pada 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pihak swasta yang hendak menyuap pejabat Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam OTT itu, salah satu tersangka yang ditangkap adalah Marudut Pakpahan. Belakangan terungkap bahwa Marudut Pakpahan merupakan anak dari pemilik PT Runggu Prima Jaya. Ia diduga berperan sebagai perantara suap (makelar kasus) untuk mempengaruhi penanganan perkara di Kejati DKI.
Selengkapnya baca di sini :
Kasus ini melibatkan pula dua pegawai BUMN konstruksi PT Brantas Abipraya yang kedapatan membawa uang USD 148.835 sebagai “uang panas” untuk Kepala Kejati DKI ketika itu. Walau OTT tersebut tidak terkait langsung dengan proyek PT Runggu Prima Jaya, fakta bahwa putra owner perusahaan terlibat dalam skandal suap aparat penegak hukum menambah catatan hitam tersendiri.
Pengamat antikorupsi menilai insiden ini mengindikasikan jejaring pengaruh para kontraktor besar di balik layar proses hukum. Nama PT Runggu Prima Jaya pun sempat disebut-sebut sebagai “rekanan Pemda DKI” yang familinya diduga mencoba memuluskan perkara melalui jalur belakang. Hal ini memperkuat sorotan bahwa integritas perusahaan maupun afiliasinya patut dicermati dalam setiap proyek pemerintah yang dikelolanya.
PT Runggu Prima Jaya ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi memiliki pengalaman dan kualifikasi sebagai kontraktor proyek infrastruktur besar. Namun di sisi lain rekam jejaknya dibayangi berbagai isu mulai dari proyek mangkrak, dugaan pelanggaran hukum, hingga keterkaitan dengan kasus korupsi.
Perusahaan yang telah puluhan tahun malang melintang ini jelas bukan pemain baru. Dengan jejak aktivitas yang beragam, dari Jakarta, Sumatra, hingga pelosok Jambi, sepak terjang PT Runggu Prima Jaya layak mendapatkan pengawasan ketat.
Publik berharap kemenangan perusahaan ini dalam tender proyek pemerintah di 2025 benar-benar diikuti kinerja profesional dan bersih. Jangan sampai persoalan-persoalan yang pernah membelit di masa lalu terulang, karena setiap rupiah anggaran dan setiap jengkal lahan negeri ini adalah amanah yang harus dijaga.(*)
Add new comment