Reputasi Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah diuji seiring mencuatnya polemik ijazah sarjana Presiden Joko Widodo. Tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu telah bergulir sejak 2022 dan kembali memanas pada 2024-2025, menyeret nama UGM dalam sorotan publik. Isu ini tak hanya menjadi bahan perbincangan nasional, tetapi juga mendapat perhatian media internasional. Bagaimana kontroversi ini memengaruhi citra kampus UGM.
***
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta terseret dalam pusaran isu ijazah Presiden Jokowi. Media massa nasional menyoroti UGM karena almamater Jokowi ini dianggap turut terdampak oleh isu ijazah palsu.
Prof. Koentjoro, Mantan Ketua Dewan Guru Besar UGM, yang blak-blakan menyebut kisruh ijazah Jokowi membawa dampak buruk bagi nama baik kampus.
“Kisruh ijazah Jokowi yang dipersoalkan sejumlah pihak justru memberikan dampak buruk bagi UGM. Menurut dia, reputasi UGM menjadi pihak yang paling besar dirugikan dalam kisruh ijazah Jokowi” ujar Koentjoro.
Pernyataan ini disampaikan dalam program Rosi KompasTV bertajuk “Reputasi UGM dan Isu Ijazah Palsu”, menegaskan kekhawatiran bahwa polemik tersebut mencoreng kredibilitas universitas.
Pemberitaan media asing turut muncul seiring memanasnya isu. Harian The Star dari Malaysia, misalnya, melaporkan bahwa Jokowi menghadapi gugatan hukum terkait tuduhan ijazah palsu, di mana UGM ikut menjadi tergugat dalam perkara tersebut.
Dalam artikel berjudul “Jokowi to face two lawsuits on diplomas, Esemka car”, The Star menjelaskan salah satu gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Surakarta oleh seorang pengacara yang menuding Jokowi memalsukan ijazah SMA dan universitasnya. Bahkan menyertakan UGM sebagai pihak tergugat. Liputan media internasional semacam ini menunjukkan bahwa isu ijazah Jokowi bukan sekadar polemik lokal, tetapi telah menjadi sorotan lebih luas yang berimplikasi pada nama UGM di kancah global.
Media nasional pun terus mengupdate perkembangan kasus. Portal berita Detikcom mencatat bagaimana polemik ijazah Jokowi “telah menyita perhatian publik selama bertahun-tahun”. Berbagai laporan menonjolkan langkah-langkah UGM dalam merespons tuduhan, mulai dari konferensi pers hingga pembuatan siniar (podcast) khusus bertajuk #UGMMENJAWAB Ijazah Joko Widodo di kanal YouTube resmi kampus. Dalam siniar berdurasi 33 menit tersebut, Rektor UGM Ova Emilia bersama jajaran pimpinan universitas menjawab pertanyaan seputar keaslian ijazah Jokowi secara terbuka.
Citra UGM Hancur di Mata Publik?
Kontroversi ini memicu beragam reaksi dari kalangan civitas academica UGM maupun masyarakat umum. Di internal kampus, banyak dosen dan alumni angkat suara membela almamater. Keluarga Alumni Fakultas Kehutanan UGM (KAGAMAHUT) angkatan 1980 – teman-teman seangkatan Jokowi – bahkan menggelar konferensi pers khusus untuk menunjukkan bukti bahwa Jokowi benar lulusan UGM. Mereka membawa foto-foto kuliah dan wisuda, serta ijazah asli milik rekan seangkatan sebagai pembanding.
“Kami memastikan bahwa rekan kami Insinyur Joko Widodo adalah bagian dari alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980,” tegas Mustoha Iskandar, perwakilan alumni, sambil memperlihatkan ijazahnya sendiri yang identik dengan ijazah Jokowi.
Para alumni menjadi saksi hidup perjalanan Jokowi di UGM (1980-1985) dan mengecam segala tudingan miring sebagai hoaks yang menyesatkan. Dukungan dari komunitas alumni ini sedikit banyak meredam keraguan internal dan menunjukkan soliditas keluarga besar UGM dalam menjaga nama baik kampus.
Sebaliknya, di ruang publik yang lebih luas, muncul stigma dan keraguan terhadap UGM dari sebagian kalangan. Arief Poyuono, mantan Wakil Ketua Umum Gerindra, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa isu ijazah palsu Jokowi telah membuat citra UGM tercoreng di mata generasi muda.
“Terus terang, dengan isu ijazah palsu Jokowi yang terus diramaikan, anak-anak kawanku tidak mau memilih UGM sebagai tempat kuliahnya,” tulis Arief di media sosial.
Ia menyebut para pelajar itu merasa malu dan mulai menganggap UGM “universitas abal-abal, mirip universitas di ruko-ruko”. Meski pernyataan Arief bersifat anekdot, hal ini mencerminkan kekhawatiran bahwa kepercayaan publik terhadap UGM dapat terkikis oleh isu tersebut, terutama di kalangan yang terpapar narasi negatif. Beberapa lulusan UGM bahkan mengaku sempat mendapat pertanyaan sinis, “Ijazahmu beneran asli kan?”, sebagai imbas dari viralnya kasus ini di media sosial.
Namun, survei menunjukkan opini mayoritas publik masih berpihak pada UGM dan Jokowi. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis akhir Juli 2025 mengungkap 74,6% responden tidak percaya pada isu ijazah palsu Jokowi.
Mayoritas masyarakat menilai tuduhan itu bermuatan politis dan tidak didukung bukti kuat. Sehingga tidak mengancam legitimasi kepemimpinan ataupun reputasi UGM secara nyata. Hanya 12,2% responden yang percaya tudingan tersebut.
Temuan ini mengindikasikan bahwa meski riuh di permukaan, kebanyakan rakyat memahami konteks sebenarnya dan tidak begitu saja memvonis UGM.
“Responden survei menempatkannya sebagai bagian dari dinamika politik, bukan sebagai fakta yang mengancam legitimasi nasional,” ujar Ardian Sopa, peneliti LSI, menjelaskan alasan publik meragukan isu ini. Dengan demikian, dukungan diam-diam dari publik rasional tetap menjadi penopang reputasi UGM di tengah badai kabar miring.
Di kalangan civitas UGM sendiri, muncul seruan agar pihak kampus dan alumni lebih proaktif melawan fitnah.
"Bagi UGM kasus ini adalah academic assassination — sebuah pembunuhan karakter yang menodai reputasi kampus demi agenda politik murahan,” tulis Arfanda Siregar dalam kolom opini di Detik.
Ia mendesak UGM tidak tinggal diam dan mengambil langkah hukum terhadap penyebar hoaks, demi menjaga martabat institusi akademik. Suara-suara serupa menggema di media sosial, dengan tagar #SaveUGM dan #UGMBeraniBenar sempat muncul, berisi dukungan netizen agar UGM teguh membela kebenaran.
Sementara itu, kelompok yang meyakini teori ijazah palsu (termasuk beberapa tokoh oposisi) terus menyuarakan keraguan. Bahkan aksi massa sempat terjadi – dari demonstrasi di gerbang kampus UGM hingga unjuk rasa di dekat kediaman Jokowi di Surakarta – mendesak ditunjukkannya ijazah asli secara langsung. Meski UGM telah berulang kali mempublikasikan bukti dan kesaksian, rupanya masih ada segelintir pihak yang sulit diyakinkan, menjadikan isu ini bola liar di tahun-tahun terakhir masa jabatan Jokowi.
Sikap Resmi Pihak Kampus UGM
Pihak rektorat dan institusi UGM sejak awal mengambil langkah tegas untuk menjaga integritas akademiknya. Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, berulang kali menegaskan keaslian ijazah Jokowi disertai data pendukung.
“Kami punya data dan bukti bahwa Bapak Joko Widodo resmi menjadi lulusan dari Universitas Gadjah Mada dan juga sudah diberikan tanda kelulusannya kepada yang bersangkutan,” ujar Ova Emilia pada 22 Agustus 2025.
Pernyataan ini menegaskan bahwa secara administratif Jokowi tercatat memenuhi semua persyaratan akademik, lulus dari Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980-1985, dan ijazah aslinya telah diserahkan saat wisuda November 1985.
Rektor menambahkan bahwa dokumen ijazah tersebut ada dan autentik di arsip UGM, namun kampus menolak mempublikasikan salinan ijazah Jokowi ke ranah umum karena menghormati privasi data pribadi.
“Yang bisa UGM pastikan, Jokowi masuk, berproses, lulus, dan menerima ijazah aslinya pada saat wisuda November 1985,” tegas Ova.
Pimpinan UGM (Rektor Ova Emilia, Wakil Rektor Wening Udasmoro, Dekan Sigit Sunarta) memberikan klarifikasi resmi soal ijazah Jokowi di Kampus UGM, 15 April 2025. Sikap resmi UGM juga dituangkan dalam klarifikasi tertulis dan konferensi pers.
Tak hanya itu, Ketua Senat Fakultas Kehutanan Prof. San Afri Awang turut memberi testimoni. Ia mengaku masih ingat proses pencetakan skripsi di era tersebut dan memastikan tidak ada yang aneh dengan dokumen Jokowi. San Afri heran masih ada pihak yang menyerang institusi UGM dengan tudingan ijazah palsu. Menurutnya, isu itu sudah semakin liar dengan analisis tak berdasar, dan murni upaya cari sensasi.
“Dia (Jokowi) lulus dari sini dan buktinya ada kok,” ujarnya seraya memastikan arsip akademik Jokowi lengkap dan vali.
Dampak terhadap Reputasi Institusional UGM
Pertanyaan besar dari polemik ini, seberapa jauh dampaknya pada reputasi UGM sebagai institusi? Di atas kertas, peringkat akademik UGM belum menunjukkan penurunan. Bahkan, di tengah gencarnya isu miring, UGM justru meraih prestasi di tingkat regional.
Berdasarkan QS Asia University Rankings 2025, UGM berhasil masuk jajaran 10 universitas terbaik di Indonesia dan menempati posisi kedua nasional setelah ITB. UGM tercatat berada di peringkat Asia ke-53, unggul secara regional sekaligus naik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Fakta bahwa UGM tetap diakui sebagai kampus papan atas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dan penelitian di sana tidak langsung tergerus oleh rumor.
“Meski menjadi gunjingan terkait dugaan ijazah palsu Jokowi, UGM masuk 10 universitas terbaik di Indonesia,” tulis sebuah laporan, menegaskan kredibilitas akademik UGM masih kuat. Artinya, lembaga pemeringkat internasional maupun kalangan akademisi global tampak tetap menaruh kepercayaan pada UGM.
Dari segi minat calon mahasiswa, belum ada indikasi penurunan drastis dalam angka pendaftar UGM. Proses seleksi masuk tahun 2023-2024 tetap kompetitif. Kendati demikian, opini seperti yang disampaikan Arief Poyuono tadi menyiratkan potensi dampak jangka panjang bila isu ini berlarut-larut. Stigma negatif dapat membuat sebagian calon mahasiswa ragu memilih UGM, terutama bila mereka termakan isu bahwa “UGM kecolongan ijazah palsu.” Pihak UGM sendiri optimistis nama besar dan kualitas nyata kampus akan berbicara lebih lantang daripada hoaks. Apalagi, mayoritas publik telah diyakinkan bahwa masalah ini bernuansa politik, bukan kegagalan akademik UGM.
Dalam survei LSI, salah satu alasan publik tak percaya isu ini adalah “konfirmasi dari lembaga resmi” serta “kesadaran motif politik” di balik hembusan isu. Artinya, langkah responsif UGM dan dukungan otoritas sudah membantu menjaga reputasi institusi di mata masyarakat awam.
Meski secara peringkat dan pendaftar belum terpukul, para pengamat mengingatkan dampak terselubung pada kerja sama internasional dan kepercayaan mitra. Reputasi adalah mata uang penting dalam kolaborasi akademik global. Isu integritas bila tak ditangani tuntas bisa saja membuat mitra universitas luar negeri lebih berhati-hati. Dalam skenario terburuk (jika tuduhan dianggap benar), akreditasi internasional UGM bisa terancam dan alumni UGM di mancanegara menghadapi stigma bahwa gelar mereka dari kampus yang “gagal mengamankan standar akademik”.
Polemik ijazah Jokowi pada akhirnya menjadi ujian integritas bagi Universitas Gadjah Mada. Dalam narasi media, UGM sempat “dipukul” opini negatif, namun kampus kerakyatan ini mampu bangkit menjawab dengan data dan fakta. Opini publik terbelah, tetapi mayoritas masih menjunjung rasionalitas dan tak mudah termakan isu. Sikap resmi UGM tegas membela yang benar, didukung pemerintah melalui verifikasi hukum. Secara institusional, reputasi UGM ibarat pohon besar yang tak tumbang oleh angin fitnah sesaat – ranking tetap tinggi, peminat masih banyak, mitra internasional tetap percaya.
Seperti diungkap Prof. Koentjoro, nama baik UGM memang paling dirugikan oleh kisruh ini. Namun juga paling banyak dibela oleh para pemangku kepentingan yang peduli. Dari alumni yang menunjukkan ijazah asli, survei yang menolak hoaks, hingga polisi yang turun tangan, semua merajut simpulan bahwa ijazah Jokowi asli dan UGM bersih dari rekayasa.(*)
Add new comment