Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI 2025 soal kekurangan volume Rp1,03 miliar pada proyek Pengaspalan Jalan Dalam Kota Sarolangun memicu reaksi deras dari warganet. Di media sosial, berbagai komentar bermunculan, mulai dari sindiran pahit hingga desakan agar aparat penegak hukum segera bergerak.
Seorang warganet bernama Muhammad Nabiil menuliskan panjang lebar pengalaman getir dunia kontraktor. Ia menyebut bisnis konstruksi kini sarat risiko dan rawan jerat hukum.
“Kalau mau dapat info proyek kita harus setor dulu 2–5%. Begitu keluar DPA, siap-siap cari uang 10–15% untuk ‘deal’. Tender? Panitia lelang harus dimanja, ada yang minta iPhone, ada yang ke warung remang-remang. Menang pun belum tentu untung, paling kotor 5%. Begitu BPK datang, kontraktor babak belur. KIAMAT hari,” tulisnya getir.
Komentar lain bernada pesimis. Haris Hasyim menulis, “Bisa jadi sudah berbagi hasil. Di negeri ini, kasus korupsi yang nilainya miliaran justru paling sulit dibongkar. Yang sering ditangkap malah kasus kecil-kecil.”
Mbah Selamet menimpali singkat: “Korupsi sudah mendarah daging di negeri ini.”
Ada pula yang mempertanyakan peran pengawasan. “Kata kunci keberhasilan pekerjaan infrastruktur ada di tangan konsultan pengawas. Bila ada masalah, konsultan juga yang harus diperiksa,” tulis Alex Morante.
Era Sukmawati terang-terangan mendesak, “Ayo selidiki proyek di Sarolangun, audit PU Bina Marga dan CV Keisha.”
Sukiman menambahkan: “Sikat pejabat pemerintah yang koruptor! BPK harus bertindak cepat untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat Indonesia.”
Tak sedikit pula warganet yang menyoroti sisi teknis. “Kok ekstrem kali temuannya. Coba periksa dulu kontraknya, jangan-jangan ada adendum CCO,” ujar akun Travelling Wisata.
Sebelumnya, proyek pengaspalan Jalan Dalam Kota Sarolangun senilai Rp7,57 miliar seharusnya menjadi nadi mobilitas warga. Namun audit BPK RI tahun 2025 justru menguak lubang besar. Bukan hanya di permukaan jalan, tapi juga di keuangan daerah.
Volume pekerjaan ternyata berkurang lebih dari Rp1 miliar dari yang seharusnya, padahal anggaran sudah dibayar lunas. Temuan ini mengejutkan, dua komponen utama proyek didapati tidak terpasang sesuai spesifikasi, menyebabkan selisih volume besar:
- Laston Lapis Antara (AC-BC) – Kekurangan 121,10 ton dari kontrak (hanya 1.910,85 ton terpasang dari 2.031,95 ton). Nilai selisih mencapai Rp974.847.469,60.
- Lapis Pondasi Agregat Kelas A – Kekurangan 67 m³ (hanya 2.113,46 m³ terpasang dari 2.180,46 m³). Nilai selisih sekitar Rp64.509.465,51.
Total nilai volume yang hilang melebihi Rp1,03 miliar. Menurut BPK RI, kurangnya volume aspal dan material ini berpotensi mengurangi umur jalan dari rencana semula dan akan meningkatkan biaya pemeliharaan di masa depan.
Kondisi ini jelas merugikan publik: jalan cepat rusak, distribusi barang bisa terganggu, dan APBD harus keluar lagi untuk perbaikan.
BPK menilai masalah tersebut terjadi karena lemahnya pengawasan pihak dinas dan pejabat terkait selama proyek berlangsung. Kepala Dinas PUPR selaku pengguna anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan PPTK dinilai tidak cermat mengawasi dan menguji hasil pekerjaan.
Menyikapi temuan itu, Kepala Dinas PUPR Sarolangun dan bahkan Bupati Sarolangun dalam dokumen aduit mengakui temuan BPK dan berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi audit untuk perbaikan ke depan. Rekomendasi BPK tentu mencakup penagihan kelebihan bayar atas volume yang hilang, agar kontraktor mengembalikan sekitar Rp1,03 miliar tersebut kepada kas daerah atau melengkapi kekurangan pekerjaan.
Tender Ulang dan Pemain Tunggal
Temuan BPK itu sontak menjadikan CV Keisha – kontraktor pelaksana proyek jalan – sorotan publik. Bukan karena prestasi, melainkan karena meninggalkan jejak defisit kualitas di atas aspal. Menariknya, sejak proses lelang, proyek ini memang sudah mengundang tanya.
Berdasarkan data LPSE, paket pekerjaan tersebut awalnya dilelang pada Oktober 2024 dengan pagu Rp7,59 miliar dan HPS Rp7,579 miliar. Sepuluh peserta tercatat mendaftar, namun pada proses awal tak ada yang lolos evaluasi sehingga tender gagal dan harus diulang.
Pada tender ulang inilah, CV Keisha muncul sebagai satu-satunya peserta yang berani memasukkan penawaran resmi. Perusahaan ini menawar di angka Rp7.571.987.915,32 – nyaris sama persis dengan HPS dan kemudian ditetapkan sebagai harga terkoreksi sekaligus harga negosiasi. Dengan hanya satu penawar, CV Keisha otomatis menang tanpa saingan.
Kondisi “menang tender tanpa tanding” ini mengundang kecurigaan di kalangan pegiat anti-korupsi. Apalagi nilai penawarannya hanya selisih tipis sekali dari harga perkiraan pemerintah, seolah-olah sudah dihitung pas-pasan. Publik bertanya-tanya, Ke mana kontraktor lain?
Bola kini ada di tangan Aparat penegak hukum. Kasus ini dapat berkembang menjadi penyelidikan pidana dugaan korupsi. Seperti yang diharapkan publik.(*)
Add new comment