Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan praktik perjalanan dinas yang tak dilaksanakan di lingkungan Pemkab Kerinci. Hasil uji petik atas realisasi belanja perjalanan dinas senilai Rp31,9 miliar pada 10 SKPD menunjukkan ada delapan SKPD yang menganggarkan perjalanan dinas tetapi kegiatannya tidak dilakukan, dengan total nilai Rp612.141.458.
BPK melakukan uji petik atas realisasi belanja perjalanan dinas senilai Rp 31.905.558.066 pada 10 SKPD. Ditemukan perjalanan dinas tidak dilaksanakan pada 8 SKPD dengan nilai total Rp 612.141.458. Hingga pemeriksaan, baru Rp 61.307.400 yang disetor kembali ke kas daerah (sekitar 10,02%).
Sisa yang belum disetor, Rp 550.834.058 (sekitar 89,98% dari nilai temuan). Proporsi “perjalanan tidak dilaksanakan” terhadap total uji petik ≈ 1,92%.
Bagaimana modusnya?
BPK membandingkan SPT, SPPD, laporan presensi SIAP, foto/dokumentasi kegiatan, dan konfirmasi pelaksana. Hasilnya, ditemukan pegawai yang mencatat presensi masuk/keluar di kantor pada hari yang sama saat menerima uang perjalanan dinas (luar kota).
BPK juga menemukan ada pelaksana perjalanan luar daerah yang tidak menggunakan hotel. Tapi, menerima komponen 30% tarif hotel. Celakanya, pada saat yang sama sistem menunjukkan adanya presensi di kantor.
Setelah pemeriksaan berakhir, pelaksana tidak dapat menyampaikan dokumentasi/foto kegiatan. Dokumen pertanggungjawaban tetap dibuat meski kegiatan tidak terlaksana.
BPK juga menemukan ada yang diterima penuh, sebagian, bahkan masih di tangan PPTK/Bendahara. Ada pula pelaksana yang namanya dipakai dalam SPJ tanpa benar‑benar melaksanakan perjalanan dinas. Lalu ditemukan tanda tangan kuitansi tidak cocok dengan tanda tangan pelaksana.
SPJ perjalanan dinas dipakai menutup pengeluaran yang tidak dianggarkan dalam DPA. Bukti pendukung untuk itu tidak dapat diserahkan kepada BPK.
Kepada BPK RI, para pihak (Pelaksana, PPTK, Bendahara, PA SKPD) mengakui kegiatan tidak terlaksana dan bersedia memproses pengembalian.
Rincian per SKPD (nilai rupiah)
SKPD | Perjalanan Tidak Dilaksanakan | Setoran ke Kas Daerah | Sisa Belum Disetor | Catatan |
---|---|---|---|---|
Dishub | Rp 488.422.500 | Rp 2.190.000 | Rp 486.232.500 | Menyumbang ±79,79% dari total temuan; tingkat pengembalian 0,45%. |
Sekretariat Daerah | Rp 50.985.658 | Rp 21.772.100 | Rp 29.213.558 | Pengembalian 42,70%. |
Sekretariat DPRD | Rp 40.680.000 | Rp 16.632.000 | Rp 24.048.000 | Pengembalian 40,88%. |
Satpol PP & Damkar | Rp 8.246.000 | Rp 0 | Rp 8.246.000 | Belum ada setoran. |
Dispora | Rp 11.716.700 | Rp 8.622.700 | Rp 3.094.000 | Pengembalian 73,59%. |
Bappeda‑Litbang | Rp 5.926.600 | Rp 5.926.600 | Rp 0 | Sudah lunas 100%. |
Dinas Pendidikan | Rp 4.380.000 | Rp 4.380.000 | Rp 0 | Sudah lunas 100%. |
BPKPD | Rp 1.784.000 | Rp 1.784.000 | Rp 0 | Sudah lunas 100%. |
Total | Rp 612.141.458 | Rp 61.307.400 | Rp 550.834.058 | 5 SKPD masih menyisakan setoran. |
Titik berat masalah ada di Dishub (hampir 80% dari total). Satu dinas ini menentukan sehat‑tidaknya pemulihan kerugian. Lima SKPD masih menyisakan uang yang harus dikembalikan, Dishub, Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Satpol PP dan Damkar, Dispora. Tiga SKPD sudah nol sisa, Bappeda‑Litbang, Dinas Pendidikan, BPKPD.
BPK menegaskan akibat praktik itu, kerugian keuangan daerah sementara sebesar Rp 550.834.058 sampai disetor penuh. Temuan menyiratkan kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), verifikasi SPPD lemah, persilangan data presensi‑SPPD belum wajib, dan approval berjalan pada dokumen yang tidak didukung bukti kegiatan.
Secara hukum‑administratif, pola ini berisiko masuk kategori perjalanan dinas fiktif/pemalsuan dan penggunaan SPJ untuk belanja di luar DPA. Penilaian pidana tentu bergantung pada penegak hukum, namun ruang tipikor jelas mengintai ketika ada keuntungan atau penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian daerah.
Audit BPK menunjukkan Kepaal OPD dan Bupati sepakat menindaklanjuti temuan tersebut.(*)
Add new comment