Arahan Mendagri Tito Karnavian untuk Evaluasi Tunjangan DPRD

WIB
IST

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta kepala daerah mengevaluasi tunjangan DPRD, termasuk di Jambi. Tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Jambi mencapai Rp7–12 juta per bulan, total penghasilan dewan rata-rata Rp30–45 juta. Polemik ini memicu demo ricuh akhir Agustus 2025.

***

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengimbau semua kepala daerah agar mengevaluasi besaran tunjangan anggota DPRD di wilayah masing-masing. Arahan ini muncul pada awal September 2025 sebagai respons atas polemik tunjangan DPRD yang dianggap terlalu tinggi dan memicu keresahan publik.

Tito menjelaskan bahwa PP No.18 Tahun 2017 telah mengatur hak keuangan DPRD, memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyesuaikan tunjangan DPRD dengan kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itu, kepala daerah bersama DPRD dapat menimbang ulang besaran tunjangan tersebut dan menyesuaikannya secara lebih proporsional.

“Saya menyarankan kepada kepala daerah dan DPRD berkomunikasi dengan mereka (masyarakat) untuk melakukan evaluasi,” ujar Tito Karnavian.

Ia menegaskan evaluasi tunjangan (terutama tunjangan perumahan) diperlukan mengingat banyak daerah diprotes masyarakat karena tunjangan yang dianggap tidak wajar. Tito mendorong pemerintah daerah dan DPRD membuka ruang dialog dengan publik agar tercapai solusi yang disepakati bersama.

Arahan Mendagri ini mendapat tanggapan positif berbagai pihak. Pengamat Fernando Emas menyebut langkah Tito sebagai upaya konkret menjawab aspirasi publik atas besarnya tunjangan pejabat di tengah ekonomi masyarakat yang sulit.

Meskipun DPRD memiliki kewenangan anggaran, tunjangan DPRD dibebankan pada APBD daerah (berdasarkan PP No.18/2017 tentang keuangan DPRD) sehingga evaluasi oleh eksekutif dan legislatif daerah sangat dimungkinkan.

Langkah Tito ini diharap mendorong partai politik dan para wakil rakyat daerah lebih peka terhadap sentimen publik, terlebih di tengah sorotan tajam terhadap kinerja pejabat.

Komponen dan Besaran Tunjangan DPRD di Provinsi Jambi

Besaran tunjangan DPRD di Provinsi Jambi, termasuk seluruh kabupaten/kota di dalamnya, bervariasi tergantung kategori kemampuan keuangan daerah (tinggi, sedang, rendah) sesuai aturan. Secara umum, penghasilan anggota DPRD daerah mencakup beberapa komponen utama:

  • Uang Representasi – pengganti gaji pokok bagi anggota DPRD. Besarnya ditetapkan berdasarkan jabatan: ketua DPRD provinsi setara gaji pokok gubernur, ketua DPRD kabupaten/kota setara gaji pokok bupati/wali kota. Wakil ketua mendapat 80% dari ketua, dan anggota 75% dari ketua. Contoh: gaji pokok Bupati Jambi ~Rp2,1 juta, sehingga uang representasi anggota DPRD kabupaten ~Rp1,575 juta per bulan.
  • Tunjangan Keluarga dan Beras – tunjangan istri/suami (10% gaji) dan anak (2% per anak, maks 2 anak), serta tunjangan beras (setara 10 kg per jiwa). Misal di DPRD Kota Jambi: ~Rp220 ribu untuk keluarga dan ~Rp289 ribu tunjangan beras.
  • Uang Paket – uang sidang/paket per bulan, ~Rp157 ribu (contoh Kota Jambi).
  • Tunjangan Jabatan – tunjangan kedudukan sebagai anggota dewan. Di Kota Jambi anggota mendapat ~Rp2,28 juta.
  • Tunjangan Alat Kelengkapan Dewan – honor bagi anggota yang duduk di Badan Musyawarah (Banmus), Badan Anggaran (Banggar), Komisi, Badan Kehormatan, dan Badan Legislasi. Besarannya relatif kecil (sekitar Rp91 ribu per badan per bulan di Kota Jambi).
  • Tunjangan Komunikasi Intensif – diberikan setiap bulan untuk mendukung tugas dewan berkomunikasi dengan konstituen. Besar maksimalnya diatur berdasarkan kategori kemampuan keuangan daerah: kategori tinggi paling banyak 7 kali uang representasi ketua DPRD, kategori sedang 5 kali, kategori rendah 3 kali. Kota Jambi sebagai daerah kemampuan tinggi menetapkan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp14,7 juta per anggota per bulan (7 × Rp2,1 juta). Namun, di banyak daerah kategori sedang nilainya sekitar Rp10,5 juta (5 × Rp2,1 juta).
  • Tunjangan Reses – diberikan setiap masa reses untuk kegiatan dewan di dapil. Aturannya mirip dengan komunikasi intensif (maksimal 7 kali representasi ketua per masa reses di kategori tinggi). Beberapa daerah menganggarkannya secara proporsional per bulan; contoh umum adalah Rp2,625 juta per bulan (yang kira-kira totalnya 7× representasi per triwulan).
  • Tunjangan Perumahan – uang sewa rumah bagi pimpinan/anggota DPRD yang tidak disediakan rumah dinas. Besarannya ditetapkan dengan asas kewajaran sesuai harga sewa rumah di daerah tersebut, sehingga bervariasi. Di Provinsi Jambi, tunjangan perumahan anggota DPRD kabupaten/kota berkisar antara Rp7–12 juta per bulan tergantung daerah. Contohnya, anggota DPRD Kota Jambi menerima Rp11,03 juta (2019), sedangkan di Kab. Tanjung Jabung Barat sekitar Rp7,97 juta.
  • Tunjangan Transportasi – uang transport bagi yang tidak mendapat mobil dinas. Besarannya juga disesuaikan asas kepatutan, umumnya setara biaya sewa kendaraan. Anggota DPRD Kota Jambi menerima ~Rp11,2 juta per bulan, di Tanjabbar Rp11 juta. Pimpinan DPRD biasanya tidak dapat tunjangan transportasi karena sudah difasilitasi mobil dinas, sehingga total penghasilan anggota bisa lebih tinggi dari ketua (sebagaimana terjadi di Kota Jambi).

Selain komponen di atas, pimpinan DPRD memperoleh dana operasional (DO) Ketua DPRD yang besarannya juga berdasar kelompok keuangan daerah (maksimal 6 kali representasi ketua untuk ketua DPRD, 4 kali untuk wakil ketua). Anggota dewan juga masih mendapatkan fasilitas lain seperti uang perjalanan dinas setiap kali kunjungan keluar daerah, yang nilainya cukup signifikan (misal di Tanjabbar, satu kali perjalanan dinas mendapat Rp10 juta).

Tunjangan DPRD Provinsi vs Kabupaten/Kota di Jambi

Berdasarkan aturan di atas, DPRD Provinsi Jambi memiliki nominal tunjangan lebih besar daripada kabupaten/kota, karena gaji pokok gubernur (Rp3 juta) lebih tinggi dari bupati (Rp2,1 juta).

Uang representasi anggota DPRD Provinsi Jambi sekitar Rp2,25 juta (75% dari Rp3 juta), lebih tinggi dari anggota DPRD kabupaten Rp1,575 juta. Dengan formula tunjangan yang serba proporsional, total penghasilan anggota DPRD Provinsi Jambi diperkirakan mencapai ~Rp45 juta per bulan, tertinggi di wilayah Jambi.

Untuk DPRD kabupaten/kota, besar tunjangan bervariasi sesuai kekuatan APBD masing-masing. Kota Jambi (APBD tinggi, kategori finansial tinggi) menempatkan tunjangan di kisaran atas. Setiap anggota DPRD Kota Jambi menerima sekitar Rp41,9 juta per bulan (data 2019), dengan rincian komponen: uang representasi Rp1,58 juta, berbagai tunjangan kecil (keluarga, beras, paket, komisi/badan) total ~Rp3,3 juta, tunjangan jabatan Rp2,28 juta, tunjangan komunikasi intensif Rp14,7 juta, reses (estimasi rata-rata bulanan) Rp2,625 juta, perumahan Rp11,03 juta, dan transportasi Rp11,2 juta. Pada kategori ini, tunjangan komunikasi intensif dan reses diberikan maksimal (7× uang representasi), dan tunjangan perumahan/transport juga relatif tinggi sesuai standar kota.

Sebaliknya, daerah dengan kemampuan keuangan lebih rendah memberikan tunjangan lebih kecil. Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) misalnya, anggota DPRD-nya menerima total sekitar Rp35 juta per bulan.

Rinciannya, representasi Rp1,575 juta, tunjangan keluarga Rp267 ribu, beras Rp306 ribu, paket Rp159 ribu, tunjangan jabatan Rp2,2 juta, perumahan Rp7,97 juta, transportasi Rp11 juta, komunikasi intensif Rp14,7 juta. Terlihat tunjangan komunikasi intensif Tanjabbar masih memakai angka 7× (Rp14,7 juta, mungkin karena dahulu sempat kategori tinggi), namun tunjangan perumahannya jauh di bawah Kota Jambi (hanya Rp7,9 juta vs Rp11 juta).

Rata-rata anggota DPRD kabupaten/kota memperoleh sekitar Rp30 jutaan per bulan. Dengan variasi, Kota Jambi tertinggi ~Rp41 juta, kabupaten lainnya berkisar antara Rp28–38 juta per bulan. Hal ini sesuai klasifikasi kemampuan daerah yang diamanatkan UU. Daerah dengan PAD besar mampu memberi tunjangan lebih tinggi, sedangkan daerah PAD rendah di kisaran bawah. Sebagai ilustrasi, Kabupaten dengan APBD relatif kecil cenderung di kisaran ~Rp28 juta, sementara kabupaten yang lebih maju (misal Bungo, Merangin) mendekati ~Rp35–38 jutaan.

Untuk kemudahan, berikut tabel perbandingan tunjangan DPRD di Provinsi Jambi (perkiraan 2025 untuk anggota DPRD, per bulan):

WilayahTotal Penghasilan Anggota DPRDKeterangan
Provinsi Jambi± Rp45 juta (tertinggi)Uang representasi lebih besar (Gub) sehingga tunjangan relatif terbesar.
Kota Jambi± Rp42 jutaKategori keuangan tinggi. Contoh 2019: Rp41,9 juta
Kab. Tanjung Jabung Barat± Rp35 jutaKategori sedang. Contoh 2025: Rp35 juta
Kabupaten lain (rata-rata)± Rp28–38 jutaTergantung klasifikasi (sedang/rendah)
Tabel penghasilan DPRD di Jambi

Angka-angka di atas adalah perkiraan penghasilan bruto sebelum pajak. Pajak penghasilan (PPh Pasal 21) biasanya dipotong 15% untuk tunjangan tertentu. Pimpinan DPRD (Ketua/Wakil) menerima total take-home pay yang bisa lebih rendah dari anggota biasa karena tunjangan transportasi/perumahan mereka digantikan fasilitas dinas.

Sumber hukum acuan tunjangan DPRD daerah selain PP 18/2017 antara lain Permendagri No.62 Tahun 2017 yang mengatur teknis pengelompokan kemampuan keuangan daerah dan batas maksimal tunjangan Setiap pemerintah daerah menerbitkan peraturan kepala daerah (Pergub/Perbup/Perwal) untuk menetapkan besaran tunjangan di daerahnya.

Misalnya, Perwal Jambi No.85 Tahun 2018 menetapkan Kota Jambi termasuk kelompok kemampuan keuangan tinggi dan merinci formula tunjangan komunikasi intensif, reses, dan dana operasional sesuai batas maksimal 7x uang representasi ketua DPRD. Dengan dasar ini, pada 2019 tunjangan komunikasi intensif dan reses DPRD Kota Jambi diberikan penuh 7 kali uang representasi Ketua DPRD.

Perbandingan dengan Tunjangan DPRD di Provinsi Lain

Jika dibandingkan secara nasional, tunjangan DPRD di Provinsi Jambi bukan termasuk yang tertinggi. Beberapa provinsi maju dan daerah khusus memberikan tunjangan jauh lebih besar, sehingga menjadi sorotan publik pada 2025. Contoh paling mencolok adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat:

  • DKI Jakarta: Berdasarkan Kepgub DKI No.415 Tahun 2022, anggota DPRD DKI mendapat tunjangan perumahan Rp70,4 juta per bulan (pimpinan DPRD DKI bahkan Rp78,8 juta). Angka fantastis ini jauh melampaui tunjangan perumahan DPR RI yang sekitar Rp50 juta, dan belakangan diakui sebagai hasil revisi era Gubernur sebelumnya (Anies Baswedan). Tunjangan komunikasi, transportasi, dan lainnya di DKI juga lebih tinggi disesuaikan dengan biaya hidup ibu kota. Tak heran, total take-home pay anggota DPRD DKI dikabarkan di atas Rp100 juta per bulan, sehingga menuai kritik keras.
  • Jawa Barat: DPRD Provinsi Jabar awal 2025 mencuat isu tunjangan perumahan Rp62 juta per anggota per bulan (sebelum pajak). Pimpinan DPRD Jabar malah Rp64 juta per bulan untuk perumahan. Setelah dipotong pajak progresif 30%, anggota menerima bersih sekitar Rp44,4 juta khusus tunjangan rumah. Ini masih 4-5 kali lipat tunjangan rumah di Jambi (Rp8–12 juta). Pihak DPRD Jabar mengakui angka ini legal sesuai PP 18/2017 dan persetujuan Kemendagri, namun akibat tekanan publik mereka sepakat akan mengevaluasi dan menurunkannya.
  • Daerah Lain: Beberapa kota besar lain juga memiliki tunjangan tinggi. Misalnya, DPRD Cimahi (Kota di Jabar) dengan APBD sedang: tunjangan komunikasi intensif Rp10,5 juta; transport ketua Rp20 juta (anggota Rp17,5 juta); perumahan ketua Rp47 juta (anggota Rp40 juta). Bandingkan dengan DPRD Kota Jambi, transport ketua Rp0 (dinas), anggota Rp11,2 juta; perumahan ketua Rp0 (rumdin), anggota Rp11 juta. Provinsi Sumbar juga dilaporkan memberi tunjangan mirip standar nasional (komunikasi intensif Rp10,5 juta, perumahan Rp12 juta). Artinya, Jambi masih relatif moderat. Tunjangan DPRD Jambi ~Rp30-40 juta termasuk semua komponen, sedangkan DKI atau Jabar bisa 2-3 kali lipat.

Perbedaan ini muncul karena perbedaan kapasitas fiskal dan kebijakan lokal. Regulasi pusat memberikan rentang, tetapi pemda dengan anggaran besar cenderung mengambil batas atas. Hal ini memunculkan kritik bahwa asas kewajaran sering dilanggar – sebagai contoh, tunjangan rumah DPRD Jabar Rp62 juta dianggap tidak wajar untuk “sewa rumah di Bandung” dan DPRD DKI Rp70 juta bahkan melebihi tunjangan rumah anggota DPR RI. Fenomena inilah yang mendorong Mendagri Tito turun tangan mengingatkan untuk dievaluasi.

Unjuk Rasa Ricuh Akhir Agustus 2025 dan Isu Kesenjangan

Isu tingginya tunjangan pejabat legislatif mencapai puncaknya pada akhir Agustus 2025. Gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi di Jakarta dan berbagai daerah, termasuk Provinsi Jambi, dipicu oleh kemarahan publik atas kesenjangan pendapatan antara wakil rakyat dan masyarakat biasa.

Awal mulanya, terkuak informasi bahwa anggota DPR RI menerima tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta per bulan, yang dianggap terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kinerja ataupun kondisi ekonomi rakyat. Beredar kabar bahwa tunjangan itu bahkan dinaikkan pasca-Pemilu 2024. Hal ini memicu aksi demonstrasi oleh elemen mahasiswa, buruh, ojek online, dan kelompok civil society di berbagai kota. Mereka menuntut pemangkasan tunjangan DPR/DPRD dan penghematan fasilitas pejabat, di tengah himpitan ekonomi rakyat.

Di Jakarta, pada 25–29 Agustus 2025 berlangsung aksi demonstrasi dengan tajuk “Revolusi Rakyat Indonesia” yang diikuti ribuan orang. Sekelompok tokoh muda yang tergabung dalam Kolektif Indonesia Berbenah bahkan menyampaikan “17+8 Tuntutan Rakyat” kepada DPR RI pada 4 September 2025.

Salah satu poin utamanya adalah mendesak DPR menghentikan tunjangan perumahan anggota DPR, moratorium kunjungan kerja luar negeri, pemotongan fasilitas, dan transparansi anggaran.

Pimpinan DPR RI merespons cepat dengan menyepakati beberapa tuntutan tersebut. Tunjangan perumahan anggota DPR RI dihentikan (dalam arti dialihkan menjadi rumah dinas atau kebijakan lain) dan sejumlah pos tunjangan dipangkas. Langkah ini diumumkan agar meredam kemarahan publik di tingkat nasional.

Aksi protes juga merembet ke daerah. Di Kota Jambi, pada Jumat 29 Agustus 2025 ribuan mahasiswa dan warga (termasuk pengemudi ojek online) menggeruduk Gedung DPRD Provinsi Jambi sebagai solidaritas atas demo di Jakarta.

Mereka meneriakkan penolakan terhadap kenaikan tunjangan DPR RI dan bahkan menyuarakan pembubaran legislatif karena dianggap tidak pro-rakyat. Situasi memanas dan demonstrasi berujung ricuh. Massa menerobos masuk gedung DPRD, melempari petugas, merusak kaca jendela, meja kursi, serta menumbangkan pagar.

Satu unit mobil dinas Sekretariat DPRD Jambi dibakar di area parkir dan fasilitas elektronik (videotron) dirusak. Polisi terpaksa menembakkan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa, dan beberapa aparat terluka terkena lemparan batu. Aksi anarkis baru reda menjelang maghrib setelah ratusan personel Brimob diturunkan. Peristiwa ini menegaskan betapa tingginya kemarahan publik di daerah terhadap isu kesenjangan pendapatan pejabat.

Di tengah kericuhan tersebut, muncul narasi kuat soal ketimpangan. Bagaimana “wakil rakyat” menikmati tunjangan puluhan juta, sedangkan rakyat kecil bergumul dengan biaya hidup sehari-hari. Di Kabupaten Tanjabbar, misalnya, gaji+tunjangan DPRD Rp35 juta per bulan disebut “berlipat-lipat dari UMK Tanjabbar yang hanya Rp3,3 juta”.

Kabupaten itu juga memiliki tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi, sehingga penghasilan dewan Rp35 juta dianggap kemewahan yang tidak sebanding dengan kondisi daerah. Ungkapan senada terdengar di banyak daerah lain, menyoroti gap antara elit dan rakyat biasa. Para demonstran membawa narasi bahwa anggaran negara lebih baik dialokasikan untuk bantuan sosial atau penciptaan lapangan kerja ketimbang mengongkosi tunjangan jumbo pejabat.

Pemerintah pusat tanggap dengan sinyal ini. Selain DPR RI yang berjanji memangkas tunjangannya, Kemendagri melalui Tito Karnavian mengambil langkah koordinatif. Pada 2 September 2025, Tito dalam Rakor dengan pemda se-Indonesia menyinggung soal inflasi daerah sekaligus mengingatkan soal efisiensi anggaran pejabat.

Lalu pada 9 September 2025, ia resmi meminta kepala daerah mengevaluasi tunjangan DPRD masing-masing. Seruan ini langsung ditindaklanjuti di beberapa daerah. DPRD Jawa Barat menggelar rapat internal 9 September dan sepakat menurunkan tunjangan perumahan yang paling besar porsinya.

DPRD DKI Jakarta juga menerima massa demonstran dan berjanji merevisi tunjangan puluhan jutanya dalam waktu dekat.

Ke depannya, publik menuntut agar anggaran negara, baik di pusat maupun daerah, lebih difokuskan untuk kesejahteraan rakyat ketimbang kenyamanan pejabat – demi mengecilkan jurang kesenjangan pendapatan antara pejabat dan rakyat itu sendiri.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network