JAMBI – Sektor perkebunan di Provinsi Jambi, yang menjadi urat nadi perekonomian daerah dengan luas mencapai 2 juta hektar dan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan, kini tengah dihadapkan pada berbagai isu kompleks. Mulai dari ancaman deforestasi global hingga fluktuasi harga yang menekan petani, semua menjadi sorotan utama dalam diskusi "Rabuan Series TAG Jambi" yang digelar hari ini, Rabu 14 Juli 2025.
Acara strategis ini diinisiasi oleh Tim Tenaga Ahli Gubernur (TAG) Jambi, Bappeda Provinsi Jambi, dan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Forum ini menjadi wadah penting untuk merumuskan arah kebijakan kawasan unggulan dan korporasi petani demi masa depan perkebunan yang lebih baik.
Ketua TAG Ir. Syahrasaddin M.Si, yang juga mantan Sekda Provinsi Jambi, membuka diskusi rutin ini dengan penekanan kuat pada urgensi kolaborasi. "Diskusi Rabuan Series TAG Jambi ini adalah platform vital bagi kita untuk menggali ide-ide inovatif dan masukan konkret bagi kebijakan Gubernur," ujar Syahrasaddin. Ia menambahkan, Jambi memiliki potensi perkebunan yang luar biasa, namun kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai tantangan yang ada.
“Forum seperti ini memungkinkan kita untuk membahas secara mendalam, mulai dari potensi pariwisata, investasi, pendidikan, hingga isu-isu krusial di sektor perkebunan,” ujarnya.
Syahrasaddin menekankan bahwa tujuan utama dari setiap diskusi adalah untuk menghasilkan solusi yang aplikatif. "Kita harus memastikan bahwa setiap gagasan yang muncul dari forum ini dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah," tegasnya.
Senada dengan Syahrasaddin, Sekretaris Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dalam sambutannya juga menggarisbawahi bahwa acara ini sangat penting untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan, khususnya di subsektor perkebunan. Dengan 2 juta hektar perkebunan dan kelapa sawit sebagai komoditas terbesar, tantangan yang dihadapi Jambi memang tidak main-main.
Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Fahmi Rasyid ini membahas berbagai persoalan yang membelit sektor perkebunan Jambi. Salah satu isu krusial adalah produktivitas kelapa sawit yang masih rendah. Rata-rata hanya menghasilkan 14-16 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar per tahun, jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 18-21 ton. Kondisi ini diperparah oleh usia tanaman yang menua, serangan hama, dan penggunaan bibit yang kurang unggul.
Selain itu, tantangan hilirisasi kelapa sawit juga menjadi perhatian serius. Meskipun Jambi memiliki kebun sawit yang luas, produksi produk turunannya belum dapat dimaksimalkan. Minimnya jumlah perusahaan pengolahan hilir, kondisi infrastruktur jalan yang rusak menuju kebun, masalah transportasi, hingga kurangnya investor menjadi hambatan utama. Akibatnya, petani seringkali terpaksa menjual TBS melalui pedagang pengumpul, membuat mereka rentan terhadap fluktuasi harga global yang bisa anjlok drastis, bahkan hingga di bawah Rp 1.000 per kilogram.
Jambi juga dihadapkan pada dampak regulasi internasional seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi ini mensyaratkan produk yang diimpor ke Uni Eropa bebas dari deforestasi. Mengingat Uni Eropa adalah pasar terbesar ketiga bagi produk kelapa sawit Indonesia, jika Jambi tidak memenuhi persyaratan uji tuntas ini, hasil panennya akan sulit diterima atau bahkan ditolak, yang dapat berdampak negatif pada perekonomian daerah.
Di sisi lingkungan, deforestasi akibat perluasan sawit, terutama di lahan gambut, kembali menunjukkan peningkatan di Indonesia pada tahun 2023. Di Jambi sendiri, keberadaan 3.055 hektar perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hutan menjadi masalah serius, dengan 390 hektar di antaranya telah ditolak perizinannya dan berpotensi diproses hukum. Konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit juga masih sering terjadi, bahkan sampai melibatkan Bupati Muaro Jambi untuk meredakannya.
Prof Suandi menegaskan bahwa korporasi petani menjadi salah satu kunci untuk mengatasi berbagai tantangan ini. "Melalui korporasi petani, kita bisa meningkatkan daya tawar petani, memfasilitasi akses mereka terhadap modal dan teknologi, serta mendorong praktik perkebunan yang lebih efisien dan berkelanjutan," jelasnya.
Pemerintah Provinsi Jambi telah memiliki Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tata Niaga Komoditi Perkebunan yang bertujuan melindungi petani dan memastikan harga yang adil. Namun, implementasinya masih membutuhkan penguatan, terutama terkait sanksi administrasi yang akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Gubernur. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga menjadi harapan untuk meningkatkan produktivitas petani tanpa membuka lahan baru, dengan dukungan dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Diskusi ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, para perwakilan OPD, serta anggota TAG Jambi seperti Dr. Arpani, Dr. M. Riduanyah, Prof. Sukendro, Muawwin MM, Thamrin Bachri, Dr. Agus, Yulfi Al Fikri M.Si, dan Dr. Anton Apriyantono. Kehadiran mereka menunjukkan komitmen bersama untuk mencari solusi komprehensif. Kolaborasi multi-pihak ini menjadi kunci untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan ramah lingkungan.(*)
Galeri foto :



Add new comment