Minggu dini hari, 22 Juni 2025, kota-kota Iran terbakar. Langit Natanz berubah merah, Isfahan membara, dan Fordow—fasilitas nuklir super rahasia di kedalaman tanah—meledak dari dalam.
Di layar-layar TV dunia, wajah Presiden Trump muncul dengan senyum puas. Perang Dunia III kini bukan wacana. Tombolnya telah dipencet Trump, sosok yang dikenal temperamental itu.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Iran terdengar lantang. Tak hanya mengecam, tapi ia melempar sinyal Iran tak mungkin berdiam diri.
“Mereka serang jantung kedaulatan kami. Iran takkan lupa. Dan kami akan menjawabnya,” ujarnya.
Di jalan-jalan Teheran, ribuan warga berkumpul sambil berteriak “Marg bar Amrika!” (Mampus Amerika). Yang lebih mengerikan bukan teriakan itu. Melainkan diamnya jenderal-jenderal IRGC di balik markas bawah tanah.
Dikutip dari Mehr News Agency, IRIB News, dan analisis think tank Middle East Institute (MEI), 22 Juni 2025, ketegangan meningkat tajam setelah stasiun televisi nasional Iran secara terbuka menayangkan peta lokasi pangkalan militer Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
Peta tersebut menandai fasilitas di Irak, Suriah, Arab Saudi, hingga UEA—yang disebut sebagai “target siap tembak”. Seorang juru bicara militer Iran menyatakan bahwa “semua skenario balasan sedang disiapkan, termasuk serangan presisi ke aset militer AS di kawasan.”
Tayangan ini menjadi sinyal bahwa Iran tidak hanya bersiap defensif, tetapi juga ofensif.
Menurut dokumen militer AS yang bocor ke The Intercept, operasi penghancuran situs nuklir Iran ini telah disiapkan sejak awal 2024, menggunakan B-2 Spirit stealth bomber yang membawa GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator (MOP).
Kemudian penggunaan kapal selam kelas Ohio yang meluncurkan 30 rudal Tomahawk dari Teluk Oman. Dan Cakupan intelijen Mossad yang menyuplai peta bawah tanah Fordow dan Natanz.
“Itu bukan hanya pemboman. Itu upaya pemusnahan total kemampuan nuklir Iran.” Pentagon source, dikutip oleh Time.
Trump menyebut ini sebagai “langkah menuju perdamaian.” Tapi justru inilah yang dipersoalkan dunia.
“Kalau hari ini kita biarkan Trump menekan tombol tanpa rem hukum, maka besok siapa pun bisa melakukan hal serupa.” Komentar Prof. Ayelat Shachar, ahli hukum internasional.
Serangan AS bisa digolongkan sebagai penggunaan kekuatan secara sepihak → bertentangan dengan Piagam PBB Pasal 2(4).
Iran berhak membalas dalam bingkai pasal self-defense → yang artinya, rudal ke pangkalan AS adalah sah secara hukum internasional.
Jika Iran benar-benar membalas. Maka yang bakal terjadi adalah pangkalan AS di Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Irak akan menjadi target utama. Proxy seperti Hezbollah dan milisi Irak akan digerakkan menyerang Israel dan aset Amerika. Blokir Selat Hormuz dapat dilakukan → memicu lonjakan harga minyak global → dampak sistemik.
Ledakan rudal Amerika Serikat yang menghantam Fordow dan Natanz di Iran, Minggu dini hari, tak hanya menggetarkan kawasan Teluk Persia. Dua kekuatan besar dunia—Rusia dan Tiongkok—menyatakan kemarahan diplomatik yang mengguncang forum global.
Moskow menyebut Timur Tengah kini "terjerumus ke dalam jurang perang", sementara Beijing mengingatkan dunia soal "kesalahan tragis" yang pernah dilakukan AS di Irak.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dalam pernyataan resmi menyebut bahwa serangan udara gabungan AS–Israel adalah bentuk eskalasi liar yang dapat menghancurkan kestabilan global.
“Timur Tengah kini terjun bebas ke dalam jurang instabilitas dan perang,” kata Peskov seperti dikutip Reuters. “Jika Amerika terus menyerang Iran, maka kita hanya tinggal milimeter dari bencana nuklir dunia.”
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, menegaskan bahwa Moskow siap menjadi mediator jika semua pihak berhenti berperang. Namun Rusia tetap mengirim sinyal kuat, mereka tidak akan tinggal diam jika konflik menyentuh batas geostrategisnya.
Di sisi lain, Rusia juga melihat peluang dari kekacauan ini. Jalur ekspor gas ke Tiongkok melalui Power of Siberia-2 diperluas, dan Rusia memperkuat pasokan energi ke pasar Asia sebagai alternatif blok Barat yang terlibat konflik.
Tiongkok, melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, menyebut serangan udara AS terhadap Iran sebagai “langkah gegabah” yang dapat meruntuhkan seluruh upaya diplomasi nuklir selama ini.
“Apa yang dilakukan Amerika ini bisa mengulang kesalahan Irak tahun 2003. Dunia tidak butuh rudal, dunia butuh diplomasi,” tegas pernyataan resmi dari Beijing.
China juga mendesak agar Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat dan mengecam penggunaan kekuatan sepihak. Di saat bersamaan, Beijing tetap menjaga hubungan teknologi nuklir sipil dengan Iran, serta mengamankan kepentingan ekonominya di kawasan melalui Belt and Road Initiative.
Pengamat menyebut reaksi Rusia dan China adalah tanda konsolidasi blok Timur, sebagai penyeimbang hegemoni militer AS dan Israel. Jika Iran benar-benar membalas—dan AS kembali menyerang—maka Rusia dan Tiongkok bisa terdorong untuk ikut melindungi sekutu strategisnya, meski lewat jalur tidak langsung, yakni intelijen, senjata, logistik.
“Dunia saat ini tidak berada dalam perdamaian. Ia sedang berdiri di ambang perang global. Satu balasan rudal dari Iran bisa membuka lembaran sejarah kelam bernama Perang Dunia III,” ujar analis geopolitik Timur Tengah, Ali Soufan, kepada Time.
Sementara Trump menyebut serangan udara ke Iran sebagai "spektakuler dan sukses besar", dunia justru melihatnya sebagai titik awal bencana internasional. Sekjen PBB, António Guterres, menyerukan gencatan senjata global dan dialog dalam forum multilateral.
“Tidak ada pemenang dari perang seperti ini. Yang ada hanya reruntuhan dan generasi yang tumbuh dalam ketakutan,” ujar Guterres.
Serangan AS terhadap Iran telah membuka babak baru. Rusia dan Tiongkok tak tinggal diam. Mereka tidak menembakkan rudal—tapi menembakkan pesan kuat, keseimbangan dunia sedang bergeser.
Kini, dunia menanti langkah Ali Khameini. Iran telah bersumpah akan membalas. Akankah perang dunia III benar-benar pecah?
Add new comment