Angin perubahan berembus dari Desa Hajran. Setelah setahun dihantui ketidakpastian dan sunyi mesin pabrik, kabar dari Mahkamah Agung menjadi secercah harapan bagi 316 pekerja PT. Pratama Agro Sawit (PT PAS)—perusahaan pengolahan kelapa sawit yang sempat dinyatakan pailit pada 2024.
Putusan kasasi yang dimenangkan PT PAS resmi mencabut status kepailitan mereka. Namun, euforia belum sepenuhnya menjalar ke kehidupan buruh yang masih terkatung-katung. Di rumah-rumah sederhana para eks karyawan, kabar baik ini masih disambut dengan tanya: “Apakah kami akan dipekerjakan kembali?”
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Batanghari, M. Ridwan Noor, menyatakan pihaknya langsung bergerak cepat setelah menerima kabar putusan itu.
“Hari ini kami sudah menyurati manajemen perusahaan. Fokus kami dua: kejelasan status karyawan yang dirumahkan dan kepastian rencana operasional ke depan,” ujarnya.
Ridwan tak menutupi kebangkrutan PT PAS sebelumnya disebabkan oleh kelemahan fundamental perusahaan: tidak memiliki kebun inti sendiri dan abai terhadap replanting saat kebun plasma mulai tidak produktif.
“Itu bentuk kelalaian. Perusahaan pengolahan sawit yang tak punya sumber bahan baku jelas menabrak prinsip bisnis yang berkelanjutan,” tambahnya.
Sejak dinyatakan pailit, ratusan buruh hanya bisa menggantungkan hidup pada kerja serabutan, jual hasil kebun kecil, atau mengandalkan utang koperasi desa. Kini, dengan putusan kasasi ini, banyak dari mereka berharap ada itikad baik dari PT PAS untuk merintis ulang roda produksi, bukan sekadar menghapus status hukum.
Putusan Mahkamah Agung ini seakan memberi kesempatan kedua bagi PT PAS. Namun, masyarakat Hajran tahu, kesempatan ini harus dibarengi dengan tanggung jawab—kepada pekerja, kepada lingkungan, dan kepada tata kelola usaha.
Kini di balik dinding PT PAS, bukan hanya soal bisnis yang dipertaruhkan, tapi juga hak hidup ratusan keluarga yang menunggu suara sirine pabrik kembali menyala.(*)
Add new comment