Dari Kebun ke Catwalk: PalmCo Bangun UMKM Batik Menuju Pasar Dunia

WIB
Ist

JAKARTA – Di tengah hingar-bingar kota metropolitan, sebuah sudut pameran di Jakarta tampak memancarkan warna-warna tenang: biru lumpur rawa, hijau daun muda, coklat tanah lembab. Di sanalah berdiri deretan kain batik dari Tebing Tinggi, Muaro Jambi, dan Deli Serdang. Motifnya bukan sekadar pola. Ia adalah narasi—tentang rawa, hutan, dan tangan-tangan perempuan desa yang sedang menulis masa depan mereka sendiri dengan malam dan canting.

Batik-batik itu lahir dari tangan pelaku UMKM binaan PTPN IV PalmCo, subholding perkebunan sawit milik negara yang kini memperluas makna tanggung jawab sosialnya: dari produksi minyak sawit mentah menuju pengembangan nilai budaya dan ekonomi kreatif.

“Batik adalah jati diri bangsa. Melestarikannya berarti menghidupkan ekonomi rakyat. Dan PalmCo memilih jalan itu—menjadi penggerak di dua dunia sekaligus: industri dan budaya,” ujar Jatmiko K. Santosa, Direktur Utama PTPN IV PalmCo, dalam peringatan Hari Batik Nasional, Kamis (2/10/2025).

Selama puluhan tahun, PTPN dikenal sebagai raksasa sawit. Namun di balik pohon-pohon tinggi itu, tumbuh pula kesadaran baru: bahwa keberlanjutan bukan hanya soal lingkungan, melainkan juga tentang manusia dan kebudayaan.

Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), PalmCo menginisiasi PalmCo for Batik Movement, program pemberdayaan UMKM batik di Sumatera Utara, Riau, dan Jambi. Mereka tak hanya diberi modal, tapi juga pelatihan desain, penguasaan teknologi pewarna alami, dan strategi pemasaran digital bekerja sama dengan La Salle College Jakarta serta marketplace nasional.

“PalmCo tidak hanya membantu dari sisi modal, tapi memberi arah. Kami diajari bagaimana membaca tren warna, mengelola stok, hingga menembus pasar daring,” tutur Hijrah Saputra, pelaku usaha batik asal Tebing Tinggi yang kini mengusung brand Tebing Batik Collection.

Produk Hijrah kini telah menembus Malaysia dan Singapura. Sebuah lompatan dari dapur rumah ke panggung global.

Batik bukan sekadar kain. Ia adalah semesta simbol dan disiplin ketekunan. Namun di tengah gempuran produk tekstil massal dan budaya instan, batik nyaris kehilangan napas.

Di Jambi, kisah itu hidup lagi lewat tangan Citra Amelia Futriana dari Batik Maryana. Dulu ia hanya menjual melalui pesanan lokal. Kini, dengan dukungan PalmCo, ia rutin mengikuti pameran nasional dan mengirim produk ke berbagai provinsi.

“Dulu kami menjual lewat mulut ke mulut. Sekarang kami punya akun media sosial, pelanggan tetap dari luar Jambi, dan bisa hidup dari batik,” ujarnya.

PalmCo mengajarkan agar pewarna alami—indigo, secang, dan kulit jengkol—tidak ditinggalkan, tapi disandingkan dengan pendekatan desain modern. Dari situ lahir motif baru: kombinasi akar budaya dan cita rasa urban, yang disukai generasi milenial.

PalmCo tidak membangun program sekadar seremonial. Pemberdayaan dilakukan melalui tiga pilar utama:

  1. Pelatihan keterampilan – meningkatkan kapasitas produksi dan inovasi desain.
  2. Pembiayaan inklusif – memberikan modal bergulir yang terukur dan diawasi.
  3. Pemasaran strategis – membuka akses ke event nasional, marketplace digital, dan jejaring ekspor.

Ketiganya dijalankan simultan agar UMKM tidak sekadar hidup dari bantuan, tapi bertahan sebagai entitas ekonomi mandiri.

Langkah ini sejalan dengan arahan Kementerian BUMN yang menuntut agar perusahaan pelat merah tidak hanya mengejar profit, tetapi juga menciptakan social impact yang berkelanjutan.

PalmCo bahkan menjadikan batik sebagai simbol internal perusahaan. Para pegawai didorong mengenakan batik karya UMKM binaan dalam acara resmi dan kegiatan sehari-hari. “Kami ingin nilai budaya bukan hanya disokong, tapi dihidupi,” ujar Jatmiko.

Kini, batik bukan hanya pakaian formal untuk upacara atau pertemuan resmi. Ia menjelma menjadi fashion statement baru. Lewat pelatihan rebranding, batik daerah seperti Asahan, Labuhanbatu, dan Muaro Jambi kini tampil dengan gaya berani: paduan warna pastel, pola geometrik, dan aplikasi pada tas, syal, bahkan sneakers.

“Batik tidak boleh berhenti di masa lalu. Ia harus hidup di masa depan,” tutur Nurul Huda Nasution dari Batik Mardiyah, mitra PalmCo yang kini mengekspor produk ke Jepang dan Eropa.

Perjalanan para perajin batik—yang dulu berjuang sendiri di antara modal terbatas dan pasar sempit—kini menemukan teman seperjalanan. Melalui tangan PalmCo, mereka tak lagi dianggap pelengkap, melainkan mitra budaya dalam pembangunan nasional.

Melestarikan batik bukan hanya soal menjaga kain bercorak, tapi juga menjaga marwah bangsa dan membuka jalan ekonomi baru bagi perempuan desa.

“Batik adalah jati diri kita,” kata Jatmiko dalam pidato penutupnya. “Tugas kita bersama adalah menjadikannya tetap hidup, bernilai, dan membanggakan.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network