Oleh: Hermanto
Wartawan senior, Kulon Progo
Malam di Wates datang seperti biasa—perlahan, nyaris tak terasa. Tidak ada yang istimewa dari langitnya yang buram atau angin yang malas berhembus. Tapi bagi sebagian perempuan, di sinilah hari mereka benar-benar dimulai.
Mereka keluar saat kita tidur. Mereka pulang ketika kita baru menanak air untuk membuat kopi. Mereka tidak datang dari lembaga atau perusahaan. Mereka datang dari rumah-rumah kecil di pinggir dusun, membawa tubuh yang sudah terlalu lama lelah, dan semangat yang tidak pernah benar-benar tumbuh, tapi juga tak pernah benar-benar padam.
Sebutlah mereka kupu-kupu malam—kata yang terlalu manis untuk hidup yang getir. Mereka bukan makhluk malam karena pilihan, tetapi karena siang menolak mereka mentah-mentah. Siang punya standar yang tak bisa mereka penuhi: ijazah, jam kerja tetap, penampilan, pengalaman. Malam tidak banyak bertanya. Malam hanya menunggu.
Saya bertemu seorang dari mereka di sudut pertigaan kota, di bawah lampu jalan yang redup dan berdengung kecil seperti suara serangga patah sayap. Namanya Rini—atau ia memilih dipanggil begitu malam itu. Ia menunggu, bukan pelanggan, tapi keajaiban: bahwa seseorang datang dan memberinya cukup uang agar ia tak perlu keluar lagi besok malam.
Tak banyak bicara yang keluar darinya. Ia lebih banyak diam, seolah sudah terlalu sering bercerita dan tak pernah ada yang mendengar. Tapi dari tatap matanya, saya tahu ia tak butuh simpati. Ia hanya ingin didengar.
Ia bekerja setiap malam, kadang di pinggir jalan, kadang di tempat karaoke yang pintunya selalu tertutup rapat. Dalam semalam, ia bisa mendapat dua ratus ribu. Tapi itu jika sedang baik. Jika tidak, ia hanya membawa lelah dan uang sepuluh ribu untuk beli nasi bungkus.
“Anak saya butuh susu,” katanya pelan. “Dan tidak ada yang memberi saya pekerjaan untuk bisa beli itu siang hari.”
Negara tidak hadir di malam-malam seperti itu. Negara hanya muncul dalam bentuk plang larangan, stempel penyegelan, atau lampu rotator yang menyala sebentar lalu hilang bersama janji.
Beberapa minggu lalu, sebuah karaoke disegel di Pengasih. Beberapa botol miras disita. Beberapa perempuan dibawa. Beberapa berita ditulis. Tapi esok harinya, perempuan-perempuan itu tetap harus bangun. Anak-anak mereka tetap sekolah. Dapur tetap kosong. Dan negara tak datang membawa pekerjaan pengganti, atau setidaknya undangan untuk bicara.
Seolah semua selesai ketika pintu ditutup dan kamera dimatikan.
Saya bertanya-tanya: jika pekerjaan malam dianggap salah, mengapa tak ada siang yang lebih ramah? Jika moral menjadi dasar menertibkan, mengapa ekonomi yang rusak tak pernah diperbaiki lebih dulu.
Lastri, perempuan lain yang saya temui di belakang pasar, berkata sambil memandangi tangannya yang kasar,
“Saya ingin berhenti. Tapi kalau saya berhenti, anak saya makan apa?”
Ia tak berharap banyak. Tidak ingin jadi pegawai negeri. Tidak ingin terkenal. Hanya ingin hidup seperti orang lain: bangun pagi, kerja, makan, tidur, ulangi esok hari. Tapi hidup tak selalu datang seragam. Hidup baginya adalah belajar tidur dengan hati gelisah dan bangun tanpa harapan yang baru.
Mereka tak memimpikan malam. Mereka hanya terjebak di dalamnya.
Saya percaya, perempuan-perempuan seperti Rini dan Lastri bukanlah aib. Mereka adalah bukti bahwa kita gagal menyiapkan ruang yang adil untuk semua. Bahwa pembangunan hanya menyentuh mereka yang bersuara, bukan yang bersabar. Bahwa pertumbuhan ekonomi hanya menjadi angka, bukan penghidupan.
Jika negara benar hadir, seharusnya kehadiran itu tidak hanya berupa pagar dan palu segel. Kehadiran harus dimulai dari mendengar. Dari bertanya, “Apa yang bisa kami bantu agar kamu tidak perlu begini terus?” Dari mengubah program pelatihan menjadi sistem pendampingan. Dari mengganti stigma menjadi solidaritas.
Saya percaya: mereka tidak butuh diselamatkan. Tapi mereka pantas diberi pilihan.
Suatu malam, ketika Rini pamit hendak kembali ke rumah, saya melihat tubuhnya sedikit bungkuk diterpa angin. Ia bukan perempuan yang lemah. Ia perempuan yang telah berdamai dengan kenyataan bahwa hidup tak selalu adil, dan bahwa kadang satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus berjalan—meski sendirian, meski dalam gelap.
Dan saya tahu, esok pagi ia akan tetap memasak nasi, menyiapkan bekal anak, dan tersenyum saat menutup pintu rumah. Karena bagi perempuan-perempuan malam seperti Rini, menjadi ibu adalah satu-satunya pekerjaan yang tak pernah selesai, dan tak pernah bisa ditinggalkan.
⸻
Tentang Penulis
Hermanto adalah wartawan senior yang tinggal di Kulon Progo. Ia menulis dengan keyakinan bahwa jurnalisme bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan pengingat tentang siapa yang kerap dilupakan oleh sejarah.
Add new comment