Oleh:
Dr Jafar Ahmad
Saya merasa beruntung. Bisa duduk bersama tokoh-tokoh penting dari Kerinci dan Sungai Penuh. Undangan itu datang dari Kapolres Kerinci, AKBP Arya Tesa Brahmana, S.I.K. Acara Hari Bhayangkara ke-79. Selasa, 1 Juli 2025. Sebuah hari yang biasa saja bagi sebagian orang. Tapi bagi saya, hari itu punya makna tersendiri.
Sebelum kami berangkat ke lokasi upacara, kami sempat duduk santai di ruangan Pak Kapolres. Tidak formal. Tidak kaku. Justru di situlah terasa hangatnya. Penuh canda dan tawa. Tapi juga penuh sinyal-sinyal baik.
Hadir Pak Kajari Sungai Penuh. Ketua Pengadilan Negeri. Wakil Ketua DPRD dari Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Semuanya duduk bersama. Tanpa sekat. Dan yang paling membuat saya tersenyum, ada dua tokoh yang selalu saya tunggu kehadirannya dalam satu ruangan: Bupati Kerinci, Bang Monadi. Wali Kota Sungai Penuh, Bang Alfin.
Saya pernah menulis tentang keakraban mereka (https://jambilink.id/post/4275/rektor-iain-kerinci-apresiasi-kolaborasi-monadi-alfin-dr-jafar-ini-tentang-membangun). Dulu, ketika melihat momen kecil itu hanya sesekali muncul. Tapi pagi itu, saya menyaksikannya sendiri. Langsung. Mereka duduk berdampingan. Santai. Tertawa bersama. Berbagi candaan khas pemimpin daerah yang sudah matang secara emosional. Bagi kami yang tinggal di wilayah ini, pemandangan seperti ini adalah kemewahan. Bukan karena mewah tempatnya. Tapi mewah nilainya. Karena kami tahu persis, sudah belasan tahun terakhir, hubungan dua kepala daerah tidak selalu sehangat ini. Maka ketika saya melihatnya langsung, saya tidak bisa menahan untuk menyampaikan isi hati.
“Saya senang sekali melihat abang berdua duduk bareng begini,” kata saya. Bang Alfin menjawab santai, “Tak ada yang perlu diributkan, Pak. Gaji kami juga sama.” Ruangan meledak dengan tawa. Tapi di balik canda itu, ada kedewasaan yang sedang tumbuh. Bang Monadi pun menimpali dengan gaya khasnya yang humble. Ramah. Hangat. Tanpa jarak.
Namun, ada sesuatu yang lebih penting dari semua itu. Dari pertemuan itu, lahir kesepahaman diam-diam. Semuanya merasa, baik mereka yang dari Sungai Penuh maupun Kabupaten Kerinci, adalah satu entitas “uhang kincay”. Kerinci dan Sungai Penuh itu satu. Sistem besar kita adalah Kerinci. Sungai Penuh dan Kerinci hanyalah perbedaan administratif. Peta bisa membagi. Tapi darah tidak. Budaya tidak. Hati kita tidak bisa dipisahkan oleh garis-garis birokrasi.
Lalu ada yang nyeletuk—saya tidak tahu siapa yang pertama bilang: “Andai Kota Sungai Penuh dinamai Kota Kerinci, mungkin lebih pas.” Saya langsung menyambar. “Kami di kampus siap bikin naskah akademiknya!” Itu bukan basa-basi. Kami benar-benar siap. Bukan hanya soal naskah. Kami juga siap fasilitasi FGD. Mengundang para tokoh. Mendengar suara anak muda. Melibatkan birokrat dan masyarakat adat. Karena gagasan besar tidak boleh berhenti di ruang kecil. Harus punya ruang untuk tumbuh. Harus diuji. Harus diberi dasar. Saya percaya, Ketua dan Wakil Ketua DPRD kita orang-orang muda. Progresif. Terbuka. Mereka bisa diajak duduk bersama. Berdiskusi. Membangun gagasan yang berdampak jauh ke depan.
Sebelum keluar dari ruangan, Bang Alfin sempat membisikkan sesuatu ke saya. “Pak Rektor bicara dengan DPRD. InsyaAllah bisa clear itu.” Saya simpan kalimat itu baik-baik. Bukan sekadar pesan, tapi amanah. Tanda bahwa ada kepercayaan. Dan semangat yang sama.
Bagi saya, ini bukan soal mengganti nama kota. Tapi soal mengganti suasana batin kita bersama. Kita ingin membangun rasa baru. Bahwa kita ini satu. Bersatu dalam sejarah. Bersatu dalam budaya. Bersatu dalam harapan. Karena sejatinya, Kerinci dan Sungai Penuh tidak pernah benar-benar terpisah. Yang membedakan hanya peta. Tapi hati, darah, dan jiwanya tetap satu.
Satu tanah.
Satu nama.
Kincay.
*Penulis adalah Rektor IAIN Kerinci, Pendiri Idea Institute Indonesia
Comments
Kota Kerinci
Saya sangat setuju, alasan saya seperti yang dikatakan oleh Rektor td, "kita satu budaya, satu suku, satu adat dan satu Kultur"
Lebih-lebih lagi, bila salah seorang masyarakat Sungai Penuh bertemu dgn orang Kerinci di luar daerah, keduanya tetap mengaku sebagai Uhang Kincai dan tdk pernah menganggap salah satunya bukan Uhang Kincai.
Dan juga ada satu kalimat adat yang pernah saya dengar dari orang Rawang " Tigo di ile, empat tanah Rawang. Tigo di Mudik, empat Tanah Rawang"
Itu berlaku sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa kita tetap Satu dalam Adat, satu dalam Kultur.
Lanjut pak Rektor 👍
(Mohon maaf kalau ada yg salah)
Kota Kerinci
Saya sangat setuju, alasan saya seperti yang dikatakan oleh Rektor td, "kita satu budaya, satu suku, satu adat dan satu Kultur"
Lebih-lebih lagi, bila salah seorang masyarakat Sungai Penuh bertemu dgn orang Kerinci di luar daerah, keduanya tetap mengaku sebagai Uhang Kincai dan tdk pernah menganggap salah satunya bukan Uhang Kincai.
Dan juga ada satu kalimat adat yang pernah saya dengar dari orang Rawang " Tigo di ile, empat tanah Rawang. Tigo di Mudik, empat Tanah Rawang"
Itu berlaku sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa kita tetap Satu dalam Adat, satu dalam Kultur.
Lanjut pak Rektor 👍
(Mohon maaf kalau ada yg salah)
Satu kesatuan
Sangat setuju paparan pak Rektor IAIN Kerinci baik secara geo politik maupun geo strategis tentu saja juga geologis dan historis. Ya mari kita garap segera amanah yg pak Rektor terima itu.
Satu kesatuan
Sangat setuju paparan pak Rektor IAIN Kerinci baik secara geo politik maupun geo strategis tentu saja juga geologis dan historis. Ya mari kita garap segera amanah yg pak Rektor terima itu.
Add new comment