Oleh:
DR. Agus, S.Sos., M. Hum., CIIQA
General Manager UNESCO Global Geopark Merangin Jambi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Unja
Tulisan di Sumatera Daily yang menyoroti Merangin Jambi UNESCO Global Geopark (MJUGGp) sebagai sekadar proyek simbolisme yang mengabaikan realitas lokal, tampaknya hanya membaca satu sisi kacamata sempit dan mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Alih-alih menilai geopark sebagai proyek elitis, realitasnya menunjukkan bahwa geopark justru telah menjadi katalis pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat, serta diplomasi kebudayaan Indonesia di tingkat global.
Pertama, status UNESCO Global Geopark (UGGp) bukan sekadar predikat simbolik, melainkan hasil evaluasi ketat dari lembaga internasional yang mengedepankan prinsip sustainable development mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Menurut UNESCO (2023), geopark adalah living laboratories yang menghubungkan warisan geologi dengan pembangunan berkelanjutan masyarakat. Dengan pengakuan global ini, Merangin kini sejajar dengan geopark lain di dunia seperti Langkawi (Malaysia) dan Jeju (Korea Selatan), membuka akses promosi pariwisata sekaligus investasi.
Kedua, argumen bahwa masyarakat lokal diabaikan jelas menyalahi fakta. Pemerintah Kabupaten Merangin melalui Dinas Pariwisata dan stakeholder terkait justru telah melibatkan komunitas lokal dalam berbagai program. Data dari Dinas Pariwisata Merangin (2023) mencatat setidaknya 15 kelompok sadar wisata (pokdarwis) di sekitar kawasan geopark yang aktif mengelola homestay, kerajinan tangan, hingga jasa pemandu wisata berbasis kearifan lokal. Bahkan, menurut laporan Badan Pengelola MJUGGp (2023), terdapat peningkatan pendapatan rata-rata 20–25% bagi pelaku UMKM di sekitar kawasan geopark sejak status UGGp ditetapkan.
Ketiga, jika dikatakan geopark hanya berhenti pada simbolisme, bagaimana menjelaskan fakta bahwa kawasan ini telah menjadi instrumen diplomasi budaya? Pada sesi General Conference UNESCO di Paris (2023), Merangin Geopark dipresentasikan sebagai contoh best practice pengelolaan warisan geologi tropis, memperkuat citra Indonesia di panggung internasional. Simbolisme semata tentu tidak cukup untuk bisa lolos verifikasi dan diapresiasi dunia.
Keempat, narasi bahwa ada realitas lokal yang terabaikan patut ditinjau ulang. Faktanya, geopark justru menjadi instrumen untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) dan deforestasi. Kementerian ESDM (2022) mencatat aktivitas PETI di Merangin menurun signifikan di wilayah-wilayah yang masuk dalam zonasi geopark karena adanya pengawasan komunitas dan kerjasama multipihak. Artinya, geopark tidak mengabaikan realitas, melainkan menghadirkan solusi berbasis konservasi.
Oleh karena itu, menyederhanakan geopark sebagai proyek simbolisme sama artinya dengan menutup mata dari capaian nyata yang telah dihasilkan. Memang, pekerjaan rumah masih ada, termasuk dalam hal infrastruktur penunjang dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata. Namun, arah kebijakan jelas menunjukkan bahwa Merangin Geopark bukan proyek elitis, melainkan strategi pembangunan daerah yang berakar pada konservasi, partisipasi masyarakat, dan pengakuan dunia.
Geopark Merangin adalah warisan dunia, sekaligus warisan lokal yang dikelola untuk keberlanjutan. Menafikannya hanya sebagai simbol, justru merupakan reduksi berlebihan yang mengaburkan realitas nyata.(*)
Add new comment