Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah besar. Dua nama besar di dunia politik dan hukum Indonesia, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, secara resmi mendapatkan abolisi dan amnesti. Langkah ini bukan hanya soal hukum, tapi sinyal keras arah politik Prabowo ke depan, nasionalisme berbumbu rekonsiliasi.
Pada 30 Juli 2025, dua surat resmi mendarat di meja DPR. Satu berisi permintaan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong yang tengah terjerat kasus korupsi impor gula. Satu lagi berisi permohonan amnesti untuk 1.116 narapidana, termasuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap Harun Masiku.
DPR pun tak banyak menawar. Rapat konsultasi tertutup 31 Juli 2025 menyepakati semuanya. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, seluruh fraksi menyetujui permintaan tersebut. Secara prosedural, tinggal satu langkah, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Menteri Hukum Supratman A. Agtas menyebut pengajuan ini datang dari internal Kemenkumham. Tujuannya membangun persatuan nasional menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80.
Selain Hasto, pemerintah juga mengampuni narapidana makar di Papua, lansia, dan napi kasus-kasus ringan lainnya.
“Ini sinyal kuat bahwa Prabowo sedang membangun jembatan emas dengan lawan-lawan politiknya,” kata pengamat politik Khalid Zabidi.
Dalam kaca mata hukum, Presiden memang berwenang memberikan abolisi dan amnesti. Dasarnya Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Tapi, publik bertanya: mengapa sekarang? Dan mengapa mereka?
Tom Lembong, eks Menteri Perdagangan, divonis 4,5 tahun karena kasus korupsi impor gula. Hasto, sekjen partai penguasa sebelumnya, divonis 3,5 tahun karena suap.
Kini keduanya bebas.
Abolisi menghentikan proses hukum terhadap Tom, sementara amnesti menghapus vonis Hasto seperti tak pernah terjadi.
Pakar hukum pidana Azmi Syahputra mengakui, kebijakan ini memang sah, tapi penuh muatan politik. “Ini cara cepat dan efektif menyelesaikan perkara, tapi bukan berarti tak ada harga sosial yang dibayar,” katanya.
Sinyal makin kuat. Apalagi PDIP selama ini di kubu oposisi. Kian dekatnya Prabowo ke Megawati belakangan ini, hingga kunjungan politik berselimut silaturahmi, diinterpretasikan sebagai “penggandengan ulang” kekuatan lama.
Pengamat komunikasi politik Anto Sudarto menyebut langkah Prabowo “lebih cerdas dari sekadar reshuffle”. Karena dengan amnesti, Hasto bukan cuma dibebaskan. Ia juga dimuliakan kembali dalam perpolitikan nasional.
Tapi kritik pun tak terbendung. “Apakah ini bukan bentuk perusakan moral pemberantasan korupsi?” kata netizen di linimasa.
Beberapa pihak menilai keputusan ini bisa melemahkan integritas hukum. Apalagi, kedua tokoh itu baru saja divonis.
Tapi Prabowo, seperti biasa, jalan terus. Pendekatannya bukan hitam-putih. Tapi pelangi politik yang tak semua orang mampu membaca warnanya.
Dari sisi hukum, tak ada pelanggaran. Prabowo hanya menjalankan hak konstitusionalnya. Tapi dari sisi publik, keputusan ini menyimpan dua wajah, rekonsiliasi untuk memperkuat Indonesia, atau kalkulasi politik untuk memperkuat kekuasaan.
Dan di sinilah kita sekarang. Menunggu sejarah memutuskan, apakah ini akan dicatat sebagai langkah besar yang menyatukan, atau goresan awal retaknya harapan baru pada penegakan hukum di negeri ini.(*)
Add new comment