Oleh: Hermanto
wartawan senior yang tinggal di Yogyakarta
Tak ada yang sungguh-sungguh menyangka bahwa pasar kecil, yang dulu hanya dikenal sebagai tempat membeli burung perkutut dan melati untuk sesajen, kini menjadi panggung ramai manusia dari Seoul, Bandung, Amsterdam, dan Jakarta Selatan.
Pasar itu bernama Ngasem.
Ia berdiri agak malu-malu di selatan Keraton Yogyakarta, seperti seorang punggawa yang tahu dirinya bukan bagian dari garis depan, tapi tetap hadir tiap hari demi menjaga keteraturan semesta. Pasar Ngasem tidak pernah memanggil orang. Tapi orang datang juga ke sana—karena yang paling sunyi kadang justru paling dicari.
Didirikan pada akhir abad ke-18, tak lama setelah Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, Ngasem mula-mula bukan pasar burung. Ia adalah pasar rakyat: menjual sembako, ayam, bunga untuk upacara adat, dan kebutuhan dapur para abdi dalem. Letaknya yang berdekatan dengan Taman Sari menjadikan Ngasem titik temu yang ganjil antara dapur rakyat dan pemandian ratu.
Waktu melanjutkan pekerjaannya. Pelan-pelan, Ngasem diserbu suara lain: kicau, kokok, gemerisik bulu. Pasar burung lahir, bukan karena direncanakan, tapi karena cocok. Di bawah pohon asam, sangkar-sangkar digantung. Di antara kios sayur, orang menilai nada murai. Seekor jalak suren bisa ditawar dengan mata menyipit dan gumam yang nyaris tak terdengar.
Dan untuk waktu yang lama, Ngasem hidup sebagai pasar kicau. Suatu masa ketika burung tidak hanya dipelihara, tapi dipercaya: sebagai pembawa rejeki, sebagai penjaga rumah, bahkan sebagai pertanda arah hidup. Orang datang dari pelosok Jawa, membawa sangkar dan harapan. Tak ada spanduk. Tak ada branding. Hanya suara.
Hingga akhirnya, pemerintah kota memindahkan semua burung itu ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY). Ngasem, tiba-tiba, menjadi sepi. Tanpa burung, tanpa keramaian. Yang tertinggal hanya tiang-tiang kayu, lantai licin bekas kotoran burung, dan udara yang terasa kosong.
Untuk sesaat, orang mengira Ngasem telah selesai. Tapi kota ini punya kebiasaan aneh: ia membiarkan tempat yang mati untuk hidup kembali dengan cara yang tak disangka.
Satu per satu, pedagang makanan tradisional muncul. Lemper, arem-arem, klepon, cenil, serabi, ketan durian. Awalnya satu meja, lalu lima, lalu dua puluh. Pelan, tapi pasti, orang datang kembali—bukan karena burung, tapi karena rasa.
Dan media sosial melakukan sisanya.
Ngasem mendadak viral.
Video TikTok yang memperlihatkan cenil warna-warni disiram gula jawa cair ditonton jutaan orang. Di Instagram, hashtag #PasarNgasem menampilkan ratusan unggahan jajanan pasar, senyum penjual, dan antrian turis asing yang rela menunggu demi mencicipi klepon seharga tiga ribu rupiah.
Turis-turis datang bukan lagi untuk menawar harga. Mereka datang untuk mengalami. Mereka mencari rasa yang tidak bisa mereka temukan di kota asal: rasa lengket gula, rasa kayu pada sendok, rasa pagi yang tidak dibuat-buat.
Ngasem pun berubah. Ia menjadi destinasi wisata—tanpa harus diiklankan. Tak ada baliho besar. Tak ada duta. Hanya suara dari mulut ke mulut, dari reels ke reels.
Pemerintah akhirnya datang terlambat. Mereka mulai membersihkan, menata ulang, dan memasang tanda bahwa Ngasem kini adalah “kawasan wisata kuliner tradisional.” Tapi bahkan sebelum itu, orang-orang sudah lebih dulu datang. Karena yang asli, selalu menemukan jalannya sendiri.
Yang lucu, warga Yogya sendiri kini jarang kebagian. Klepon habis duluan. Bubur sumsum ludes sebelum pukul sembilan. Ngasem jadi semacam rumah yang mendadak ramai tamu dari luar kota. Tuan rumahnya sendiri justru tak sempat duduk.
Namun di sela itu, masih ada yang tetap. Seorang ibu tua menyusun gethuk dengan tangan gemetar. Seorang bapak menggiling kelapa pakai parutan besi warisan. Mereka tak tahu video mereka ditonton lima juta orang. Mereka hanya tahu: ini pagi, dan orang akan lapar.
Ngasem bukan hanya hidup kembali. Ia justru kini menjadi lebih dikenal daripada saat ia berada di puncaknya sebagai pasar burung. Ia menjadi simbol: bahwa yang sederhana tak selalu ketinggalan zaman. Kadang justru ia menunggu waktu yang tepat untuk dikenali.
Pasar ini tak punya langit-langit tinggi, tak punya mural artistik, tak punya food court modern. Yang ia punya hanyalah kejujuran: dalam rasa, dalam senyum, dalam suasana.
Dan itu—untuk zaman sekarang—sudah lebih dari cukup.
⸻
Hermanto
Wartawan senior, tinggal di Yogyakarta
Add new comment